Maha Bijaksana dan Maha Adil Allah dengan segala Kasih sayangNya yang agung. Dia yang memiliki harta dan jiwa setiap makluk di bumiNya serta Dia Dzat yang mempunyai Kuasa atas segala yang Dia titipkan kepada hambaNya. Oleh karena itu kita berusaha menggunakan dan mengelola titipan Allah berupa harta sesuai perintah dan aturannya Allah saja. Termasuk dalam urusan harta waris dan wasiat. berikut kita akan membahas hukum Allah tentang waris dalam Al qur`an Suran An Nisa: 11 yang artinya;

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Yuushiikumu Allaahu (mewasiatkan (pada) kalian (oleh) Allah): Harta warisan adalah milik Allah. Setelah matinya orang, amanat atau pengelolaan harta warisan wajib sesuai dengan yang diwasiatkan oleh Allah. Wasiat Allah dalam hal pembagian waris, wajib dilaksanakan.

            Haram dan diancam dengan neraka, orang yang melanggar wasiat dari Allah mes-kipun dengan kesepakatan. Karena pembagian waris Islam itu adalah wasiat dari Allah, maka wajib segera dilaksanakan setelah pemakaman, dan haram ditunda-tunda. Misalnya: yang banyak terjadi selama ini adalah justru orang yang mengajak segera membagi waris dituduh merebut harta.

            Selama ini, pembagian waris ditunda menunggu tujuh hari kematian atau empat puluh hari atau seratus hari, bahkan ada yang menunggu sampai seribu hari. Hal ini berarti bertentangan dengan ajaran Islam dan berarti melecehkan wasiatnya Allah.

Fii aulaadikum mitslu chazhzhi al-untsayaini (dalam anak-anak kalian bagi (seorang) laki-laki seperti bagian dua anak perempuan): Bagian waris seorang anak laki-laki sebanding dengan dua anak perempuan. Hal ini jika anaknya yang meninggal adalah laki-laki dan perempuan. Jika ahli waris hanya anak laki-laki dan perempuan, maka langsung dibagi habis dengan perbandingan tersebut diatas. Jika ada ahli waris lain, maka sisanya dibagi habis oleh anak dengan perbandingan tersebut. Pembagian waris yang ada anak laki-laki, maka pasti dibagi habis karena bagian anak menjadi ashobah atau sisa.

Fa in kunna nisaa-an fawqo itsnataini falahunna tsulutsaa maa taroka (maka jika mereka adalah wanita di atas (lebih dari)dua orang maka bagi mereka dua pertiga dari apa yang ditinggalkan): Jika tidak ada anak laki-laki tapi anak hanya perempuan saja 2 orang atau lebih, maka bagian mereka adalah 2/3 untuk dibagi rata seluruh anak perempuan. Jika tidak ada ahli waris lain lagi, maka sisanya yang 1/3 kembali milik Allah yaitu untuk kepentingan iman, ibadah dan akhlaq.

Wa inkaanat waahidatan falahaa an-nishfudan (dan jika dia adalah satu orang maka baginya setengah bagian): Jika anak yang jadi ahli waris itu hanya seorang perempuan, maka bagiannya adalah separuh harta warisan. Sebagaimana telah dijelaskan, jika tidak ada ahli waris lain, maka sisanya yang separuh kembali kepada Allah.

            Dalam ayat waris, tidak disebutkan bagian anak laki-laki jika tidak ada anak perempuan, berarti anak laki-laki mendapatkan bagian sisa, sebab pada dasarnya, warisan itu adalah turun ke anak.

            Pada ayat waris juga tidak menyebutkan secara langsung bagian anakya anak atau cucu dan seterusnya ke bawah. Akan tetapi, secara tidak langsung bagian mereka adalah sebagai ahli waris pengganti. Hal ini akan dijelaskan pada penafsiran beberapa ayat selanjutnya.

Wa li-abawaihi likulli waahidin mihumaa as-sudusu mimmaa taroka inkaana lahuu waladun (dan bagi kedua orang tuanya bagi masing-masing dari keduanya seperenam dari apa yang ditinggalkan, jika dia adalah mempunyai anak): Setelah bagian waris ke bawah, maka urutan selanjutnya adalah ke atas. Ayah dan ibunya pewaris (orang yang mati), masing-masing mendapat 1/6, yakni ayah 1/6 dan ibu 1/6. Hal ini jika pewaris mempunyai anak baik anak laki-laki atau perempuan.

Fa in lam yakun lahuu waladun wawaritsahuu abawaahu fa li ummihii ats-tsuluutsu (maka jika tidak dia mempunyai anak dan mewarisinya kedua orang tuanya maka bagi ibunya sepertiga): Jika si pewaris tidak punya anak, maka ibu mendapatkan 1/3. Sedangkan ayah tidak disebutkan, berati mendapat bagian sisa.

            Bagian sisa untuk ayah, juga menjadi tambahan atas bagian 1/6 bagi ayah jika tidak ada anak laki-laki. Misalnya, ahli waris hanya satu anak perempuan dan ayah.

            Seorang anak perempuan mendapat ½, dan ayah mendapatkan 1/6 ditambah sisanya yaitu 1/3. Hal ini sebab pada dasarnya, ahli waris itu hanyalah anak laki-laki atau ayah.

Fa in kaana lahuu ikhwatun fa li ummihi as-sudusu (maka jika dia adalah mempunyai saudara-saudara, maka bagi ibunya seperenam): Jika pewaris (orang yang mati), mempunyai saudara se-ayah (termasuk se-ayah se-ibu) dua orang atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan, maka bagian ibu seperti ada anak bagi pewaris, yaitu 1/6.

            Hal ini berarti, tambahan sisa untuk ayah semakin banyak, yang jika ayahnya nanti meninggal, maka diwaris pada anaknya yang otomatis adalah saudara pewaris. Juga berarti bahwa, jika ayahnya pewaris sudah meninggal, maka bagian saudara se-ayah menjadi tambah banyak. Catatan: kata ikhwatun, diartikan saudara se-ayah karena ibunya pewaris masih hidup.

Min ba’di washiyyatin yuushiibihaa audaiinin (setelah wasiat yang ia wasiatkandengannya atau hutang): Pembagian waris dilaksanakan setelah memenuhi wasiat atau hutang. Dimaksudkan wasiat adalah yang bukan pada ahli waris dan tidak lebih dari 1/3. Bukan pada ahli waris, karena ahli waris sudah ada bagian yang ditentukan dari wasiatnya Allah. Juga dijelaskan oleh sabda Rosul, yang artinya: “Sungguh Allah telah memberi haknya pada orang yang berhak, maka tidak boleh wasiat pada ahli waris”.

            Wasiat juga tidak boleh melebihi 1/3, karena berarti tidak melaksanakan wasiat dari Allah. Juga dijelaskan oleh hadits tentang ini.

            Pembagian waris juga setelah dipenuhinya seluruh hutang. Jika ada sisanya, maka sisa itulah yang dibagi waris. Jika harta tinggalan tidak mencukupi untuk membayar hutang, dengan kata lain yang mati meninggalkan hutang, maka tidak ada ketentuan secara langsung dari al Qur`an. Akan tetapi, hal ini bisa diqiyaskan dengan pembagian waris, sebagaimana wasiat Allah. Dengan demikian, seandainya ahli waris itu mendapatkan bagian banyak, maka beban membayar hutangnya juga banyak. Kualitas qiyas dalam hal ini menjadi turun, yaitu sunnah (disukai), bukan wajib, karena tidak ada kewajiban membayar hutang bagi orang yang tidak berhutang.

            Perlu diketahui, orang mati yang meninggalkan hutang akan menanggung beban berat di akhirat, bahkan Rosulullah tidak berkenan untuk sholat atas jenazahnya sampai ada yang menanggung.

Aabaa-ukum wa abnaa-ukum laa tadruuna ayyuhum aqrobu lakum naf’an (bapak-bapak kalian dan anak-anak kalian, Kalian tidak mengetahui siapa di antara mereka lebih dekat bagi kalian (apanya) manfaatnya): Syari`at Islam, termasuk hukum waris Islam, wajib diyakini bahwa sudah terbaik disisi Allah. Wajib merasa bodoh dihadapan Allah, sehingga tidak merubah hukum-Nya sedikitpun.

Fariidlotan mina Alloohi (inilah ketetapan dari Allah): Hukum waris ini adalah ketentuan dari Allah, maka wajib dilaksanakan, haram dirubah atau tidak melaksanakan.

Inna Allooha kaana ‘aliiman chakiiman (sesungguhnya Allah Dia adalah sangat Mengetahui sangat Bijaksana): Wajib meyakini bahwa hukum waris Islam ditentukan oleh Allah Yang Maha Mengetahui situasi dan kondisi dari zaman dahulu, sekarang dan yang akan datang. Wajib yakin bahwa yang menen-tukan hukum waris Islam adalah Allah yang Maha Bijaksana. Haram menghinakan Allah, yaitu tidak melaksanakan hukum waris Islam. Misalnya: menuduh Allah tidak paham dengan kondisi Indonesia sekarang ini, setelah lama wahyu al Qur`an diturunkan, Subhanallah.

Tafsir QS. An Nisa : 12

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditanggapi oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu mempunyai anak, maka kamu mendapat tempat dari harta yang ditinggalkannya dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari itu dari harta yang kamu tinggalkan penderitaan yang kamu buat atau (dan sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara perempuan (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.

Walakum nishfu maa taroka azwaajakum in lam yakun lahunna waladun (dan bagi kalian setengah (dari) apa yang ditinggalkan (oleh) istri-istri kalian, jika tidak ada bagi mereka anak): Suami mendapat bagian ½ jika istri yang meninggal itu tidak mempunyai anak.

Fa in kaana lahunna waladun falakumu ar-rubu’u mimmaa tarokna (maka jika ada bagi mereka anak, maka bagi kalian seperempat dari apa yang mereka tinggalkan): Jika ia punya anak, maka bagian suami 1/4. Dimaksud-kan anak adalah anaknya yang meninggal, meskipun bukan dari suami yang ditinggal mati.

            Dimaksudkan dengan harta warisan dari istri yang meninggal, hanyalah yang benar-benar miliknya istri. Yang milik istri, antara lain diperoleh dari warisan, pemberian (hibah), wasiat, dan hasil pemisahan harta bersama.

            Harta bersama adalah pertambahan harta kekayaan yang didapat selama pernikahan. Jika selama pernikahan suami istri bekerja, maka kekayaan yang dihasilkan adalah milik bersama. Meskipun diatas namakan suami atau istri ataupun anaknya.

            Meskipun yang bekerja hanya suami atau istri saja, akan tetapi suksesnya suami atau istri adalah dukungan dari pasangannya. Harta bersama ini, dibagi dengan perbandingan dua untuk suami dan satu untuk istri. Perbandingan ini, diqiyaskan pada hukum waris Islam secara umum. Jadi, sebelum suami mendapatkan separuh atau seperempat dari warisan, maka suami sudah mendapatkan pemisahan harta bersama.

Min ba’di washiyyatin yushiina bihaa audainin (setelah wasiat mereka wasiatkan dengannya atau hutang): Keterangan sebagaimana QS. An Nisa` ayat 11.

Walahunna ar-rubu’u mimmaa taroktum in lam yakun lakum waladun fa inkaana lakum waladun falahunna ats-tsumunu mimmaa taroktum (dan bagi mereka seperempat dari apa yang kalian tinggalkan, jika tidak ada bagi kalian anak. Maka jika ada bagi kalian anak, maka bagi mereka seperdelapan dari apayang kalian tinggalkan): Bagian warisan istri seperempat jika suami yang meninggal tidak punya anak, jika punya anak seperdelapan. Keterangan tambahan, sebagaimana keterangan bagian suami. ayat 11.

Min ba’di washiyyatin yushiina bihaa audainin (setelah wasiat mereka wasiatkan dengannya atau hutang): Keterangan sebagaimana QS. An Nisa` ayat 11.

Wa in kaana rojulun yuurotsu kalaalatan awimro-atun walahuu akhun au ukhtun falikulli waachidin minhumaa as-sudusu fa in kaanu aktsaro min dzaalika fahum syurokaa-u fii ats-tsulutsi (dan jika ada laki-laki diwariskan sebatang kara (tidak punya orang tua dan anak) atau perempuan dan baginya saudara laki-laki atau saudara perempuan, maka bagi tiap-tipa seorang dari keduanya seperenam, ma ajika mereka lebih banyak dari itu maka mereka bersekutu dalam sepertiga): Kalalah dalam ayat ini berarti, ahli warisnya hanya saudara atau saudari se-ibu. Pewaris atau yang mati tidak meniggalkan anak ataupun pengganti warisnya, dan tidak ada ayah dan pengganti warisnya, juga tidak mempunyai ibu.

            Pengganti waris anak yaitu anaknya anak (cucu). Pengganti warisnya ayah yaitu ayahnya ayah (kakek). Saudara atau saudari se-ibu jika seorang, baik laki-laki maupun perempuan adalah 1/6. Jika dua orang atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan adalah 1/3 dibagi rata.

            Kata akhun dan ukhtun dalam ayat ini adalah saudara atau saudari se-ibu karena bagian warisnya seolah-olah mengganti ibu, yaitu 1/6 atau 1/3. Saudara se-ibu tidak dibedakan bagiannya antara laki-laki dan perempuan, karena dikaitkan dengan yang meninggal oleh seorang ibu.

Min ba’di washiyyatin yuushoo bihaa au dainin ghoiro mudloorrin (dari setelah wasiat diwasiatkan dengannya atau hutang tanpa memudhorotkan): Keterangan sebagaimana QS. An Nisa` ayat 11 dengan keterangan tambahan: dimaksudkan wasiat yang tidak membahayakan adalah bukan pada ahli waris, dan tidak melebihi 1/3. Dimaksudkan dengan hutang yang tidak membahayakan adalah yang dibayar secara sempurna, berarti jika tidak ada kelebihannya maka tidak ada warisan.

Washiyyatan mina Allaahi (inilah wasiat dari Allah): Hukum waris Islam adalah wasiat dari Allah, wajib dilaksanakan.

Wa Allaahu ‘aliimun haliimun (dan Allah itu sangat mengetahu sangat penyantun): Hukum waris Islam adalah dibuat oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun, sehingga haram dirubah dengan alasan situasi dan kondisi ngsa Arab pada waktu turunnya ayat berbeda dengan kondisi sekarang di belahan bumi yang lain. Alasan ini berarti menghina dan menuduh Allah berpengetahuan terbatas oleh zaman, Subhanallah. Juga haram tidak melaksanakannya dengan alasan Allah kejam pada wanita, Subhanallah, sebab Allah Maha Penyantun.

Tafsir Qs. An Nisa: 13

“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.”

Tilka chuduudu Alloohi (itulah ketentuan-ketentuannya Allah): Wajib menjunjung tinggi hukum waris sebagai ketentuan hukum Allah. Haram memisahkan antara hukum Allah dengan iman pada-Nya. Iman pada Allah berarti menjunjung tinggi dan melaksanakan hukum-Nya dan jika tidak memakai hukum Allah berarti rusak imanya. Wajib menyakini bahwa asas hukum Islam termasuk hukum waris adalah haqqullah.

Wa man yuthi’i Allooha wa rosuulahuu (dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rosul-Nya): Melaksanakan hukum waris Islam berarti taat pada Allah dan taat pada Rosul. Wajib melaksanakan hukum waris Islam sebagai bukti kebenaran syahadat pada Allah dan syahadat pada Rosul. Berpendapat bahwa hukum waris Islam boleh tidak dilaksanakan, berarti ingkar atas syahadat-nya pada Allah dan Rosul.

Yudkhilhu jannaatin tajriimin tachtihaa al-anhaaru khoolidiina fiihaa ((maka) Dia akn memasukkannya (ke dalam) syurga (yang) mengalir dari bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya): Wajib melaksana-kan hukum Allah termasuk waris islam demi kebahagiaan kehidupan yang selamanya tanpa batas akhir di surga. Wajib menyakini bahwa asas hukum Islam termasuk hukum waris adalah adanya ukubah ukhrowi.

Wa dzaalika al-fauzu al-’azhiimu (dan itulah keuntungan yang sangat besar): Wajib menjalani kehidupan di dunia dengan aturan dari Allah, meskipun kelihatanya berat dan tidak adil menurut sebagian pikiran manusia. Sebab seluruh hukum Allah menuju kebahagiaan yang amat sangat besar yaitu Surga.

Tafsir QS. An Nisa: 14

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan menyimpan siksa yang menghinakan.”

Wa man ya’shillaaha wa rosuulahu wa yata’adda chuduu-dahuu (dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rosul-Nya dan ia melanggar ketentuan-ketentuanNya): Haram durhaka pada Allah dan Rosulnya serta melanggar hukum-hukum-Nya, termasuk juga haram menunda pelaksanaan hukum waris sebagai wasiat dari Allah maupun tidak melaksanakan hukum waris sebagaimana aturan dari Allah. Misalnya, pembagian anak laki-laki disamakan seperti bagian anak perempuan.

Yudkhilhu naaron khoolidan fiihaa ((maka) Dia akna memasukkanNya (ked lama) neraka, kekal di dalamnya): Penentuan hukum haram dalam Ilmu Ushul Fiqh kadang-kadang diketahui dengan adanya ancaman dan siksa Neraka. Tidak melaksanakan hukum waris dan hukum-hukum lainnya yang datangnya dari Allah, berarti durhaka dan diancam dengan Neraka selamanya. Hal ini dikarenakan jika dengan sengaja melanggar satu hukum Allah berarti sholat, zakat, puasa dan syahadatnya tidak diterima oleh Allah.

Walahuu ‘adzaabun muhiinun (dan baginya azab yang menghinakan): Wajib takut ancaman siksa yang menghinakan, tidak sekedar menyakitkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *