MAha Agung Alalh dengan segala Keagungan dan KekuasaanNya. Kita sebagai orang yang beriman hendak nya selalu mengagungkan hukum-hukumNya dan mencari hikmah dibalik segala ketentuanNya untuk di syukuri. Termasuk mengenai hukum tentang nikah antar agama dalam Islam. Allah meyinggung hal ini dalam berbagai ayat al Qur`an. Hanya saja penulis lebih menekatkan pada tafsir QS.. Al Mumtahanah sebagai berikut:
……… وَلَا تُمۡسِكُواْ بِعِصَمِ ٱلۡكَوَافِرِ …………
Walaa tumsikuu bi’ishomi alkawaafir {Maka janganlah kalian pegang dengan ikatan orang-orang (wanita) kafir}: Pernikahan antara dua orang, yaitu laki- laki dan perempuan yang salah satunya bukan beragama Islam atau muslim + nonmulism. Lebih lengkapnya, “Mereka (Perempuan Mukminat) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir (laki-laki) itu tiada halal pula bagi mereka (Perempuan Mukminat). Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Sehingga difahami bahwa seorang laki-laki pun haram menikahi wanita kafir, kecuali jika jika sudah beriman dan sudah mengembalikan maharnya kepada suaminya yang kafir.
Ayat ini juga sejalan dengan hadist Nabi SAW Dari Abu Sa’īd Al-Khudri -raḍiyallāhu ‘anhu-, dari Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-, beliau bersabda, “Jangan engkau berteman kecuali dengan orang beriman dan jangan memakan makananmu selain orang yang bertakwa!”. (HR. Tirmidzzi, Abu Daud dan Imam Ahmad). Oleh karena itu, haram memilih istri, suami, pemimpin dan juga teman setia dari orang kafir, melainkan wajib dari orang yang mukmin.
Allah juga menjlaskan dalam QS. Al MAidah ayat 5, sebagai berikut:

Al-yauma uchilla lakumu th-thoyyibaat. wa tho’aamu -lladziina uutu -lkitaaba chillullakum wa tho’aamukum chillun lahum {pada hari ini dihalakan bagi kalian yang baik-baik dan makanan orang-orang yang mereka diberi kitab halal bagi kalian dan makanan kalian halal bagi mereka}: kaum yang menganut agama yang mempunyai kitab samawi yaitu umat Yahudi (Taurat melalui Nabi Musa) dan Nasrani (Injil melalui Nabi Isa AS) secara murni, dan mengatakan bahwa Tuhan adalah Allah yang Esa bukan Nabi Isa atau yang lainnya, sebab Allah berfirman, Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam” (QS. Al Amidah: 17), Allah juga berfirman “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa”. (QS. Al Maidah: 73). Orang yang menyembah atau menghamba pada selain Allah juga di sebut musyrik, sehingga hukumnya menikahi orang yang menyembah selain Allah adalah harom sebagaimana firman Allah “Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman”. (Al-Baqarah: 221)
Jadi hukum menikahi wanita kafir yaitu boleh sebab hal ini dilaksanakan oleh para sahabat; Usman bin Affan menikahi Nailah binti al-Farafashah yang bergama Nasrani. Dengan syarat Ada persamaan ajaran antara ahli kitab dan Islam; pengakuan adanya Tuhan, iman pada Rasul, iman padahari kiamat, hari pembalasan (surga-neraka). Kemudian menurut Imam Syafi`I dapat menjadi MAKRUH: Jika ajaran agama Yahudi atau Nasrani masih asli (ajaran belum diselewengkan), dan HARAM: Jika ajaran agama sudah diselewengkan.
Wa-lmuchshonaatu mina al-mu`minaati wa-muchshonaatu mina -lladziina uutu -lkitaaba min qoblikum idzaa aataitumuuhunna ujuurohunna {dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari orang-orang yang mereka diberi kitab sebelum kalian apabila kalian berikan kepada mereka maskawin mereka}: Jika laki-laki muslim, maka perempuan Ahli Kitab (yang asalnya ketauhidan) boleh dinikahi sebagai pengecualian. Jadi laki-laki mukmin dengan perempuan ahli kitab = boleh atau halal, tetapi laki-laki ahli kitab dengan perempuan mukmin = haram.
Ayat ini juga mengandung hukum bahwa apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita, lalu wanita itu berbuat zina sebelum digaulinya, maka keduanya harus dipisahkan, dan pihak wanita diharuskan mengembalikan maskawin yang telah diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak laki-laki. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir, dari Amir Asy-Sya’bi, Ibrahim An-Nakha’i, dan Al-Hasan Al-Basri.
Menikah itu yang penting wanitanya menjaga diri baik itu muslim atau Ahli Kitab. Wajib memilih wanita yang dapat menjaga diri dan kehormatannya, sebab Allah Ta’aala berfirman : Katakanlah (wahai Muhammad) bagi wanita-wanita mukminat untuk menundukkan pandangan-pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan-kemaluan mereka ( An-Nur : 30 ). Sehingga, dapat dinilai bahwa wanita baik baik yaitu wanita yang menjaga kehormatan diri dan keluarganya.
Muchsiniina ghoiro musaafichiina {untuk mengawininya bukan untuk berzina}: haram menikah dengan niat untuk menzinai atau dengan niat selain untuk menjalankan ibadah dan meninggalkan maksiat. Dari Muhammad bin ‘Ajlan dari Sa’id dari Abu Hurairah: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Tiga golongan yang merupakan hak atas Allah ‘Azza Wajalla untuk membantu mereka yaitu Sahaya yang mengadakan perjanjian pembebasan dirinya yang ingin menunaikan kewajibannya, orang yang menikah ingin menjaga kesucian dirinya, dan orang yang berjihad di jalan Allah”. (HR. Nasa’i no. 3215).
Termassuk mengawini untuk zina yaitu mengawini wanita untuk memuaskan syahwatnya terhadap wanita lain, contohnya seorang lelaki melihat seorang wanita yang menarik hatinya, kemudian lelaki itu mendatangi istrinya (jima ‘), dia membayangkan wanita yang tadi dilihatnya berada di hadapannya maka ini termasuk zina. Sebab hadist Nabi Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu’ alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah menetapkan jatah zina untuk setiap manusia. Dia akan mendapatkannya dan tidak bisa dihindari: Zina mata dengan melihat, zina lisan dengan ucapan, zina hati dengan membayangkan dan gejolak syahwat, sedangkan kemaluan membenarkan semua itu atau mendustakannya ” (HR. Bukhari dan Muslim)
Wa laa muttakhidzii akhdaan {dan tidak menjadikannya gundik-gundik}: Menikah bukan diniati untuk melakukan zina dan mengambil gundik-gundik. Gundik yaitu menjadikan wanita sebagai istri tidak resmi; selir; atau perempuan piaraan (bini gelap);. Pernikahan ini sama seperti nikah kontrak dan nikah mut`ah. Yang mana hal ini akan dijelaskan dalam bab selanjutnya.
Waman yakfur bi –l`iimaani faqod chabitho ‘amaluhuu wa huwa fii al-aakhiroti mina al-khoosiriina {dan siapa yang ia ingkar dengan keimanan, maka sungguh terhapus amalnya. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi}: wajib berusaha menjunjung tinggi hukum Allah jangan sampai kita menjadi kafir dengan Hukum Allah. Dari ayat ini juga jelas bahwa, setiap amal wajib di dasari dengan keimanan pada Allah dan akhirat. Misalnya nikah dalam rangka untuk beribadah mendapatkan kebaikan yang berlimpah dari Allah dan menjalankan sunnah. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi SAW, “Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak pula menerima amal perbuat an tanpa iman”. (HR ath- Thab rani).
Tafsir Ahkam Qur`any 6c (Nikah)
Bimbingan & Diskusi WA 085731391848