وَءَاتُواْ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحۡلَةٗۚ فَإِن طِبۡنَ لَكُمۡ عَن شَيۡءٖ مِّنۡهُ نَفۡسٗا فَكُلُوهُ هَنِيٓٔٗا مَّرِيٓٔٗا ٤
Wa aatuu an-nisaa`a shoduqootihinna nichlatan {dan berikanlah (pada) wanita-wanita (apanya) maskawin mereka (dalam keadaan) ikhlas}: MAHAR: Shodaqoh/Nihlah: pemberian, yaitu: pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang hukumnya wajib, tetapi tidak ditentukan jenis dan kadar/ukurannya. Mahar dalam pernikahan, hukumnya adalah wajib. Sebagaimana disebutkan dalam QS. An nisa: 25, yang artinya, “maka nikahilah mereka dengan izin tuannya mereka dan berilah mereka, mahar(nya) mereka dengan cara yang baik”.
Ketentuan tentang mahar yaitu: 1). Mahar merupakan Hak perempuan. Sebab ia digauli, sebagaimana dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: . . . Jika dia telah digauli maka dia berhak mendapatkan mahar, karena suami telah menghalalkan kemaluannya. . .” (HR. Tirmizi).
2). Berpedoman sifat kesederhanaan, dan kemudahan. Dari Aisyah bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya perkawinan yang besar barakahnya adalah yang paling mudah maharnya” dan sabdanya pula “Perempuan yang baik hati adalah yang murah maharnya, memudahkan dalam urusan perkawinannya serta baik akhlaknya, sedangkan perempuan yang celaka yaitu yang mahal maharnya, sulit perkawinannya dan buruk akhlaknya.” (HR. Imam Ahmad). Rasulullah SAW pernah mengatakan:‘”Sebaik-baik wanita ialah yang paling murah maharnya.’’ (HR. Ahmad, ibnu Hibban, Hakim & Baihaqi). Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Uqbah bin’ Amir Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah.’” (HR. Abu Dawud). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Di antara berita wanita sangat memudahkan maharnya dan memudahkan rahimnya.” (HR. Ahmad) ‘Urwah berkata: “Yaitu, memudahkan rahimnya untuk melahirkan.”
3). Dapat dinilai atau dihargai. Mahar baju, cincin besi atau ayat al Quran. Dari Sahl bin Saad radhiallahuanhu, ia mengatakan, “Seorang wanita mendatangi Nabi shalallahu alaihi wa sallam lalu menyatakan bahwa dia menyerahkan dirinya untuk Allah dan rasul-Nya shalallahu alaihi wa sallam. Kemudian nabi menjawab, Aku (sekarang ini) tidak membutuhkan istri. Maka seorang laki-laki mengatakan, Nikahkanlah aku dengannya. Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda, Berikan sebuah baju untuknya. Laki-Laki itu menjawab. Aku tidak punya. Nabi melanjutkan, Berikanlah sesuatu walaupun cincin dari besi. Laki-laki itu pun kembali menyatakan dia tidak punya.Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang engkau hapal dari Alquran? Laki-laki itu menjawab, Surat ini dan surat ini. Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda, Kami telah menikahkanmu dengan wanita itu dengan Alquran yang ada padamu. (HR. Bukhari, no. 5029).
Mahar emas. Dari Anas bahwa ‘Abdurrahman bin’ Auf menikahi seorang wanita dengan mahar seberat biji. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat keceriaan pengantin (padanya) lalu bertanya kepadanya, maka dia menjawab: “Aku menikahi seorang wanita dengan mahar seberat biji (emas).” (HR. Bukhori & Muslim). Mahar dengan keislamannya. Imam an-Nasa-i meriwayatkan dari Tsabit, dari Anas, ia mengatakan, “Abu Thalhah meminang Ummu Sulaim, maka ia mengatakan, ‘Demi Allah, wahai Abu Thalhah, orang sepertimu tidak akan ditolak. Tetapi engkau adalah seorang kafir, sedangkan aku wanita muslimah, dan tidak halal bagiku menikah denganmu. Jika engkau masuk Islam, maka pihak maharku dan aku tidak meminta selainnya. ‘ Lalu Abu Thalhah masuk Islam, dan tampaknya maharnya” Tsabit berkata: “Aku tidak mendengar seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya melayani Ummu Sulaim, yaitu Islam. Lalu Abu Thalhah menggaulinya, dan dia melahirkan anak.” (HR. An Nasa`i). Mahar perak, Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, “Mahar kami ketika di tengah-tengah kami masih ada Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam termasuk 10 auqiyah (ons) perak,’ sambil menggenggam dengan kedua, yaitu 400 dirham” (HR. An Nasa`I & Ahmad). Mahar gandum, Abu Dawud meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’ alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memberi tepung gandum atau kurma sepenuh dua telapak tangan untuk mahar seorang wanita, maka halal untuk menggaulinya.” (HR. Muslim & Abu Dawud)
Hukum mahar untuk yang sudah dinikah tapi belum dikumpuli, maka tidak harus memberi mahar. (nikah separoh apabila hanya omongan saja, pembicaraan, belum ada perbuatan). Sebagaimana firman Allah, “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Hendaklah kamu berikan suatu mutah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Al-Baqoroh: 236) . Ibnu Abas meriwayatkan “bahwa Nabi Saw melarang Ali mengumpuli Fatimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya: “Saya tidak punya apa-apa” Maka Rasulullah bersabda: “Dimanakah baju besi (hutaniyah) mu ?” lalu berikanlah barang itu kepada Fatimah.” (HR. Abu Daud & Nasaa’I)
Mahar boleh berupa jasa, sebagaimana “Berkatalah Dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik” (QS. al-Qashash ayat 27). Contoh lain yaitu mahar mengajarkan ayat al Quran. Selain itu, mahar juga harus merupakan barang yang suci dan bisa diambil manfaat, Tidak sah mahar dengan khamr, babi, atau darah karena, semua itu haram dan tidak berharga; Barangnya bukan barang ghasab; dan Bukan barang yang tidak jelas keadaannya
Ada dua macam mahar yaitu: 1). Mahar Mutsamma: Mahar yang telah ditetap kan bentuk dan jumlahnya dalam sighot akad: a. Mu’ajjal: tunai, b. Gahoiru Mua’ajjal: ditangguhkan. 2). Mahar Mitsil: Mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut kebiasaan yang biasanya diterima oleh pihak keluarga istri.
Dari lafadz nichlatan {(dengan keadaan) ikhlas}, maka wajib memberikan mahar dengan ikhlas dan haram menariknya kembali. Sebagaimana ketentuan Allah, “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?”. “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisaa’: 20-21)
Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu’ alaihi wa sallam bersabda: “Dosa paling besar di sisi Allah adalah orang yang menikahi wanita lalu ketika telah menyelesaikan hajatnya menyatakan, maka dia menceraikannya dan pergi dengan membawa maharnya, orang yang lalu pergi dengan membawa upahnya dan seorang yang membunuh binatang dengan sia-sia.” (HR. Al Hakim)
Fa`in thibna lakum ‘an syai`in minhu nafsan fakluuhu hanii`an marii`an {maka jika mereka baik hati kepada kalian dari sesuatu darinya dengan senang hati maka makanlah ia dengan puas lagi cukup}: Mahar istri boleh di berikan kepada suami dengan niat melaksanakan hukum Allah. Cara melaksanakan mahar yaitu dibayar kontan; atau dengan ditangguhkan, maka harus berdasar kesepakatan; dengan dicicil sampai lunas; atau dengan uang muka, sisanya diangsur sesuai kesepakatan.
2:236 & 237
لَّا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ إِن طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ مَا لَمۡ تَمَسُّوهُنَّ أَوۡ تَفۡرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةٗۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى ٱلۡمُوسِعِ قَدَرُهُۥ وَعَلَى ٱلۡمُقۡتِرِ قَدَرُهُۥ مَتَٰعَۢا بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٢٣٦
Laajunaacha ‘alaikum in thollaqtumu an-nisaa`a maa lam tamassuuhunna aw tafridluu lahunna fariidlotan {tiada dosa atas kalian jika kalian mentalak istri-istri yang belum kalian campuri mereka atau kalian menentukan bagi mereka ketentuan (mahar)}: Bila suami bercerai dengan istri dan belum pernah campur serta tidak disebutkan maharnya dalam akad, maka suami tidak wajib membayar mahar.
Mahar diwajibkan atas suami untuk diberikan kepada istri dengan didahului oleh ‘aqad nikah yang sah. Kewajiban itu menjadi semakin kuat dengan terjadinya hubungan intim dengan istri atau bersenang-senang yang sewajarnya dengannya. Baik mahar itu disebutkan dalam ‘aqad nikah dengan penyebutan yang benar atau tidak disebutkan atau ditiadakan ataupun disebutkan dengan penyebutan yang tidak benar. Hanya saja, bila mahar itu disebutkan dalam ‘aqad nikah dengan penyebutan yang benar, maka yang telah disebutkan itu secara langsung (positif) menjadi hak istri dengan adanya ‘aqad tersebut. Jika tidak disebutkan, maka digantikan dengan mahar mitsil (persamaan) yang tetap menjadi hak istri.
Pernikahan yang tidak disebutkan maharnya disebut dengan nikah tafwidh yaitu suatu pernikahan yang dilaksanakan tanpa menyebutkan atau menetapkan terlebih dahulu mahar pada waktu ‘aqadnya. Namun, Bila seseorang laki-laki melangsungkan pernikahan tanpa menetapkan terlebih dahulu bahwa mensyaratkan ‘aqad nikahnya tanpa pemberian mahar sama sekali, golongan Malik dan Ibnu Hazm berpendapat perkawinan itu tidak sah hukumnya atau bahkan batal nikahnya. Sebab, mahar tidak termasuk rukun nikah tetapi termasuk dalam syarat nikah.
Dikiyaskan dengan ini yaitu mengenai persoalan mahar yang belum ditetapkan oleh suami ketika ‘aqad nikah berlangsung dan ternyata kemudian suami meninggal dunia sebelum sempat menggauli istrinya, maka tidak berhak mendapatkan mahar Sebagaimana di dalam sebuah hadits, bersumber dari Malik dan Nafi, bahwasanya anak dari Abdullah bin Umar dan anak Zaid Ibn Khattab. Adalah ia menikah dengan anak laki-laki Abdullah Ibnu Umar, maka ia meninggal dunia dan belum bercampur dengannya dan tidak pula menyebutkan mahar baginya. Maka menuntutlah ibunya akan maharnya, maka berkatalah Abdullah ibn Umar, jika adalah baginya mahar tidaklah menahannya, dan tidak pula menzaliminya. Maka bersih keraslah ibunya menuntut mahar tersebut. Kemudian disampaikanlah di antaranya sesama mereka tersebut kepada Zaid bin Tsabit, maka memutuskanlah ia tidak ada mahar baginya dan baginya hanyalah harta warisan. (HR. Imam Malik)
Wamatti’uhunna ‘ala al-muusi’i qodaruhuu wa ‘ala al-muqtiri qodaruhu mataa’an bi al-ma’ruufiw {dan berilah mutah mereka atas orang yang mampu menurut kemampuannya dan atas orang yang miskin menurut kemampuannya, hadiah dengan baik}: Mahar dapat diartikan sebagai bayaran untuk calon istri. Mut’ah itu bisa berupa pemberian hewan atau makanan atau apapun yang bermanfaat serta tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dengan catatan, mut’ah tersebut diberikan oleh pihak suami (walinya) menurut kemampuan yang ada. Oleh karena itu, ukuran mut’ah ini bisa saja berbeda-beda sesuai dengan kesanggupan dan kemampuan pihak suami. Mut’ah dimaksudkan di sini ialah pemberian yang tidak dapat disamakan dengan mahar mitsil dan mahar musamma, bahkan setengan dari mahar pada segi nilainya.
Dari ayat ini juga dapat difahami bahwa ketentuan mahar yaitu sesuai kemampuan suami. Dan sebaik-baik perempuan adalah yang tidak memberatkan laki-laki dalam urusan mahar.
Adapun bagi wanita yang suaminya meninggal qobla dukhul dan belum ditentukan maharnya maka, sebagai mana pendapat imam Maliki bahwa Artinya: (Aku katakan) engkau lihat jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dan ia tidak menetapkan mahar baginya, (ia menyatakan) nikah tersebut boleh menurut Imam Malik dan ditetapkan bagi perempuan tersebut mahar mitsil, jika ia (suami) meninggal dunia sebelum menetapkan mahar kepada istrinya, maka istri tidak berhak memperoleh mut’ah dan mahar, tetapi ia berhak menerima bagian warisan (dari harta suami yang meninggal tersebut).
Jadi istri tidak berhak memperoleh mahar yang belum ditunaikan, juga mut’ah. Karena mut’ah itu hanya diberikan kepada wanita yang ditalak saja, sementara mahar itu diberikan sebagai ganti menggaulinya, jika ia belum sempat disentuh oleh suaminya yang telah meninggal tersebut maka tidak ada mahar baginya.
Haqqon ‘ala al-muchsiniina {ketentuan atas orang-orang yang berbuat baik}: wajib menunaikan hak dan kewajiban kepada orang lain. Contohnya yaitu suami memberikan hak mahar kepada istri dan istri menjalankan kewajibannya untuk melayani suami. Wajib juga berusaha menjadi orang yang baik dengan menjalankan segala ketentuan atau kewajiban dari Allah. Dikiyaskan dengan itu adalah menerima segala ketentuan Nya.
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan terjadi sepeninggalku sifat monopoli (mementingkan diri sendiri) dan beberapa kemungkaran.” Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pesan tuan kepada kami menghadapi hal itu?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tunaikanlah kewajibanmu dan mintalah kepada Allah untuk mendapatkan hakmu.” ( HR. Bukhari-Muslim)
وَإِن طَلَّقۡتُمُوهُنَّ مِن قَبۡلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدۡ فَرَضۡتُمۡ لَهُنَّ فَرِيضَةٗ فَنِصۡفُ مَا فَرَضۡتُمۡ إِلَّآ أَن يَعۡفُونَ أَوۡ يَعۡفُوَاْ ٱلَّذِي بِيَدِهِۦ عُقۡدَةُ ٱلنِّكَاحِۚ وَأَن تَعۡفُوٓاْ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۚ وَلَا تَنسَوُاْ ٱلۡفَضۡلَ بَيۡنَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٌ ٢٣٧
Wa in thollaqtumuu hunna min qobli an tamassuu hunna waqod farodl-tum lahunna fariidlotan fanishfu maa farodltun illaa an ya’fuuna aw ya’fuwa alladzii biyadihii ‘uqdatu an-nikaahi {dan jika kalian mentalak mereka dari sebelum kalian mencampuri mereka dan sungguh kalian telah mentukan bagi mereka ketentuan (mahar) maka bayarlah (seperdua) apa yang kalian tentukan kecuali jika mereka memaafkan atau memaafkan orang yang di tangannya ikatan nikah}: Apabila menikah baru akad saja (setengah) dan maharnya belum dibayar dan suami menjatuhkan talak, maka suami wajib membayar ½ ketentuan (mahar).
Ayat ini jelas menunjukkan kewajiban suami membayar setengah dari jumlah mahar yang sudah ditentukan dalam akad nikah, karena al Qur’an menegaskan “telah kamu tentukan jumlah mahar kepada mereka maka bayarlah separohnya”. Sementara untuk mahar yang belum ditentukan jumlahnya (tidak disebut pada waktu akad) tidak berlaku kewajiban membayar separuhnya karena tidak termasuk pernyataan dalam ayat ini.
Wa anta’ufuu aqrobu li at-taqwaa {dan bahwa pemaafan lebih dekat kepada taqwa}: Dalam urusan dunia kita berlomba-lomba untuk mengalah dan wajib belajar untuk menjadi pemaaf, karena itu lebih dekat dengan takwa.
Mengenai firman-Nya ini, Ibnu Abbas mengatakan: “Di antara keduanya yang paling dekat dengan takwa adalah yang memberikan maaf.” Mujahid, Ibrahim An-Nakha’i, Adh-Dhahhak, Muqatil bin Hayyan, Rabi’ bin Anas, dan Ats-Tsauri mengatakan: Hal yang utama dalam hal ini ialah, hendaknya wanita yang diceraikan itu memberikan maaf (mengikhlaskan) setengah dari maharnya, atau si suami melengkapi mahar yang telah disebutkan secara keseluruhan kepadanya.
Wa laa tansawuu al-fadl-la bainakum {dan janganlah kalian melupakan karunia di antara kalian}: Kita belajar memaafkan orang lain dengan cara mengingat kebaikan-kebaikan orang tersebut. Haram mengabaikan kebaikan atau karunia Allah pada orang lain dan tidak mensyukuri atau tidak menggunakan karunia Allah pada diri sendiri untuk mencari bekal di akhirat.
Dikiyaskan dengan karunia Allah yaitu keringanan dari Allah atau rukhshoh, sebagaimana dari ibnu umar ra. dia berkata: Rasululloh (saw) bersabda: “Sesungguhnya Alloh SWT suka bila rukhshah-nya dikerjakan, sebagaimana Alloh benci bila perbuatan maksiat terhadap-Nya dikerjakan. (HR. Ahmad, dan dishahihkan oleh Ibnu Khazaimah dan Ibnu Hibban)
Inna Allaaha bimaa ta’maluuna bashiirun {sesungguhnya Allah itu terhadap apa yang kalian kerjakan sangat melihat}: lafzadz bashiir mengandung arti sangat mengetahui dengan teliti atau mengetahui segala perkara yang samar, maksudnya bahwa Allah melihat segala sesuatu, walaupun itu kecil. “Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233). Oleh karena itu, Kita melakukan sesuatu hanya minta penglihatan Allah saja, bukan pada yang lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kamu kuberitahu tentang sesuatau yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kalian daripada (fitnah) Al masih Ad Dajjal? Para sahabat berkata, “Tentu saja”. Beliau bersabda, “Syirik khafi (yang tersembunyi), yaitu ketika sesorang berdiri mengerjakan shalat, dia perbagus shalatnya karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya” (HR. Ahmad).
Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita melalui sabdanya, “Wahai sekalian manusia, jauhilah dosa syirik, karena syirik itu lebih samar daripada rayapan seekor semut.’ Lalu ada orang yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana kami dapat menjauhi dosa syirik, sementara ia lebih samar daripada rayapan seekor semut?’ Rasulullah bersabda, ‘Ucapkanlah Allahumma inni a’udzubika an usyrika bika wa ana a’lam wa astaghfiruka lima laa a’lam, yang artimya, ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang aku sadari. Dan aku memohon ampun kepada-Mu atas dosa-dosa yang tidak aku ketahui”, (HR Ahmad)
Haram berbuat sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah. Sebagaimana peringatan Allah, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy-Syuraa: 21). Juga didukung dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dikiyaskan dengan ini yaitu Wajib berusaha menjalankan segala sesuatu atas dasar perintah Allah bukan karena nafsu.