Dalil yang menjelaskan tentang Wali pernikahan juga tentang Kafaah atau sekufu dalam pernikahan ditegaskan oleh Allah SWT dalam Qs. Al Baqoroh: 221, sebagai berikut:
وَلَا تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّۚ وَلَأَمَةٞ مُّؤۡمِنَةٌ خَيۡرٞ مِّن مُّشۡرِكَةٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَتۡكُمۡۗ وَلَا تُنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤۡمِنُواْۚ وَلَعَبۡدٞ مُّؤۡمِنٌ خَيۡرٞ مِّن مُّشۡرِكٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَكُمۡۗ أُوْلَٰٓئِكَ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلنَّارِۖ وَٱللَّهُ يَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱلۡجَنَّةِ وَٱلۡمَغۡفِرَةِ بِإِذۡنِهِۦۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُونَ ٢٢١
Wa laa tankichuu (Dan janganlah kalian menikahi): Nikah dalam ayat ini adalah akad yang membolehkan untuk bersetubuh, berdasarkan ijma` Ulama, yakni “Janganlah kamu mengawini perempuan-perempuan musyrik”
Menurut al-Karakhi, yang dimaksud ialah “mengawini” bukan “menyetubuhi” sehingga dikatakan (kepadanya): bahwa memang tidak ada dalam al Qur`an lafal “wathi” (menyetubuhi” sebab al Qur`an menggunakan bahasa sindiran, dan ini di antara kelembutan kata yang ada dalam al Qur`an. pendapat syafi`iyah yang paling shachih megenai pengertian nikah secara syar`I adalah bahwa kata itu dari sisi denotative bermakna “akad” sedang dari sisi konotatif bermakna “hubungan intim”. Sebagaimana disinggung al Qur`an maupun as-sunnah. Kata “nikah” dalam firman Allah “sebelum dia menikah dengan suaminya yang lain” (QS. Al Baqoroh: 230) maksudnya adalah “akad”. Sedangkan makna “hubungan intim” diambil dari hadist al Bukhori dan Muslim “….sebelum engkau mengecap’madunnya’.”
Pernikahan hukumnya boleh (jawaz) atau disyariatkan (masyru`), berdasarkan firman Allah SWT, “Maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi”. (QS. An-Nisa`: 3) dan firman-Nya, “nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kalian, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya kalian yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberianNya), Maha Mengetahui.” (QS.an-Nur: 23).
Dalam ayat ini sangat jelas bahwa laki-laki yang menikahi perempuan bukan perempuan menikahi atau melamar laki-laki sehingga dapat diambil hukum bahwa Hendaknya laki-laki jangan sampai dipimpin oleh istri, walaupun yang pintar agama itu istrinya. Kemudian juga diambil hukum bahwa Laki-laki menikah tanpa wali gender tidak setara. Sehingga syarat Laki-laki menikah adalah wajib Islam, balegh dan berakal. Dan Laki-laki menikah tanpa perlu ijin Ayah, Ibu, dsb. Tapi untuk urusan akhlak harus menggunakan strategi agar tidak bermasalah. Karena baligh adalah lepas dari tanggung jawab orang tua.
Sunnah muakad laki-laki mukmin untuk menikah, sebagaimana hadist Nabi, “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah mampu, maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan itu lebih dapat mengendalikan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu hendaklah ia berpuasa karena puasa akan menjadi peredam syahwat baginya” (HR. Bukhori dan Muslim). Dari Saad bin Abu Waqqash ra, ia berkata, “Rosululloh menolak keinginan Ustman bin Mazh’un untuk hidup membujang (agar focus beribadah). Kalau seandainya beliau mengizinkannya maka tentu kami akan mengebiri diri kami” (HR. Bukhori dan Muslim).
Haram nikah syighor, Rasulullah SAW melarang pelaksanaan nikah syighar. “Nikah syighar itu adalah seorang laki-laki mengatakan kepada laki-laki lain: nikahkan aku dengan putrimu maka aku akan menikahkan kamu dengan putriku. Atau nikahkan aku dengan saudara perempuanmu maka aku akan menikahkan kamu dengan saudara perempuanku.” (HR. Muslim). Haram nikah ketika ihrom, Rosululloh bersabda, “Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikah dan tidak boleh dinikahkan dan tidak boleh meminang.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi). Haram mut`ah, nikah Mut’ah adalah nikah dengan batasan waktu tertentu dan hal ini dilarang dalam Islam. Dari Ali bin Abi Thalib RA berkata, “Rasulullah SAW melarang nikah Mut’ah dan juga daging keledai peliharaan pada masa perang khabir”. (HR. Bukhori & Muslim). Haram nikah muhallil yaitu nikah dengan maksud untuk menghalalkan istrinya kembali setelah ditalak tiga. Sebagimana dari Ibnu Mas’ud: Rasulullah melaknat muhallil dan muhallal lahu (HR. Abu Dawud Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Rukun nikah yaitu 1). Dilakukan oleh dua orang, 2). Adanya wali mempelai wanita. 3). Adanya dua orang saksi, 4). Dilakukan dengan sighot tertentu atau Ijab Qobul, 5). Mahar. Sedangkan Syaratnya nikah yaitu 1). Calon mempelai halal menikah, 2). Adanya saksi, 3). Mahar. 4). Tidak ada larangan (beda agama, Nasab/muhrim, Istri orag lain, Poliandri, Iddah, Ihrom, sudah ditalaq 3, lebih dari 4, 2 saudara dalam satu waktu). Adapun akibatnya huum dari sahnya pernikahan adalah 1). Boleh tidaknya melakukan hubungan suami istri, 2). Kedudukan Nasab, 3). Hak perwalian, 4). Hak waris
Al musyrikaati (wanita-wanita musyrik): Laki-laki haram menikahi wanita musyrikah, hukumnya haram dan tidak sah. Perempuan musyrik adalah perempuan yang menyembah berhala dan tidak menganut agama samawi apapun. Dikiaskan dengan musyrikah adalah pezina, pemabuk, pejudi, pembunuh, dsb. Hal ini juga sebagaimana firman Allah, “Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).” (QS. An-Nuur: 26).
Chattaa yu`minna (sehingga/sampai dia (menjadi) wanita mukmin): Wanita yang sudah beriman berarti bukan musyrikah dan boleh dinikahi. Dikiyaskan dengan itu wanita yang sudah taubat, maka bukan wanita yang jelek agamanya. Wanita baik tapi orang tuanya buruk (tidak baik agamanya) tidak termasuk wanita jelek, tidak ada hubungannya dengan orang tuanya. Sehingga difahami bahwa yang dimaksud sekufu adalah sekufu dalam ketaqwaannya, bukan hal harta dan kedudukan keluarganya, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujuraat: 13)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya; maka pilihlah yang taat beragama, niscaya engkau beruntung.” (HR. Bukhori). Haram menafsirkan hadits ini bahwa keempat hal ini (harta, keturunan, kecantikan dan agama) difahami sebagai al-kafaa-ah, yakni terbatas padanya (agamanya).
Wa la amatun mu`minatun khorun min musyrikatin wa law a’ jabatkum (dan sungguh budak mukmin lebih baik dari wanita-wanita musyrik meskipun menarik (hati) kalian): ayat ini mengandung isyarat halus. Yakni, yang harus diperhatikan dalam memilih jodoh ialah “agama dan akhlaknya”, bukan kecantikan, keturunan dan hartanya. Sebagaimana sabda Rosulullaah SAW: “Janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan karena kecantikannya, karena bisa jadi kecantikan mereka justru membinasakan mereka; janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan karena hartanya, karena bisa jadi hartanya membuat mereka menyimpang, tetapi nikahilah mereka karena agama (mereka), sungguh seorang hamba yang hitam lagi bodoh yang beragama adalah lebih mulia. Oleh karena itu, Kita rendahkan nilai dunia, sampai-sampai kita mengatakan budak lebih baik daripada wanita cantik.
Wa laa tunkichuu (dan jangan kalian nikahkan): Wanita dinikahkan oleh wali, tanpa wali tidak sah. Keberadaan wali adalah syarat sahnya perkawinan. Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal. Jika dia telah digauli maka dia berhak mendapatkan mahar, karena suami telah menghalalkan kemaluannya. Jika terjadi pertengkaran di antara mereka, maka penguasalah yang menjadi wali atas orang yang tidak punya wali.” (HR. Tirmizi).
Dan seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri meskipun dengan izin walinya. Dia juga tidak boleh menikahkan wanita lain, meski ditunjuk sebagai wakil atau diberi kuasa oleh wali wanita tersebut. Rosululloh bersabda, “Wanita tidak boleh menikahkan wanita dan tidak boleh (pula) menikahkan dirinya sendiri” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah). Dia juga tidak boleh menerima (atau membaca qobul) atas pernyataan ijab seseorang, demi menjaga tradisi yang baik dan melestarikan sikap malu. Allah SWT berfirman, “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi wanita-wanita (istri)” (QS. An Nisa[4]: 34).
Nikah tidak sah tanpa wali laki-laki, mukallaf, merdeka, muslim, adil, berakal sempurna, tidak berada dalam pengampuan dan tidak sedang ihrom. Namun, perkawinan kafir dzimmi tidak butuh keislaman wali, dan orang Islam tidak bisa menjadi wali baginya, kecuali pemerintah. Ada dua jenis perwalian, yaitu perwalian yang memiliki hak memaksa (wali ijbar) dan perwalian sukarela (ikhtiyar). Perwalian ijbar hanya dimiliki ayah dan kakek saja. Artinya, seorang ayah boleh mengawinkan puterinya yang perawan, masih kecil maupun sudah besar, berakal penuh maupun kurang tanpa seizin wanita tersebut. Rosululloh Saw berabda, “Wanita mana saja yang menikahkan tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal, apabila telah terjadi hubungan suami istri, maka laki-laki itu wajib membayar mahar atas sikapnya yang telah menghalalkan kehormatan wanita tersebut. Apabila para wali enggan menikahkan seorang wanita, maka pihak penguasa (hakim) bertindak sebagai wali bagi orang yang tidak mempunyai wali” (HR. Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, al-Turmudzi, dan Ibnu Majah dari Aisyah).
Macam-macam wali nikah yaitu; 1). WALI NASAB: wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan; 2). WALI HAKIM: wali nikah dari Hakim atau Qodhi; 3). WALI TAHKIM: Wali yang diangkat oleh calon suami atau istri. Ini terjadi karena si perempuan sama sekali tdk ada wali Nasab dan tdk ada Qodhi/wali hakim/sulthon; 4). WALI MAULA : Wali yang menikahkan budaknya, yaitu sang majikannya. Adapun WALI NASAB dibagi menjadi 2 yaitu; Wali Aqrab (dekat) dan Wali Ab’ad (jauh). Catatan: Wali aqrob: wali terdekat, yaitu ayah dan kakek (ayahnya ayah), Selain ayah dan kakek maka termasuk wali ab’ad, Tetapi wali ab’ad bisa menjadi aqrob jikak urutan sebelumnya tidak ada.
Prioritas hak perwalian itu mengacu pada kedekatan hubungan kerabat. Yang berhak menjadi wali adalah (1) ayah, (2) kakek (ayahnya ayah) dan seterusnya, (3) saudara laki-laki sekandung, (4) saudara laki-laki seayah, bukan saudara laki-laki seibu karena dia tidak mempunyai hak perwalian dalam pernikahan, (5) anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung (keponakan), (6) anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, (7) paman dari ayah yang sekandung atau seayah, (8) anak dari keduanya dan seterusnya sesuai urutan ini, baru kemudian (9) hakim (Qadhi). Mereka tidak boleh menikahkan jika wali yang lebih dekat kekerabatannya dengan mempelai wanita masih ada.
Sebab yang diperbolehkan untuk berpindahnya wali aqrob ke wali ab’ad yaitu; Apabila wali aqrobnya non-Muslim; Apabila wali aqrobnya fasik; Apabila wali aqrobnya belum dewasa; Apabila wali aqrobnya gila; Apabila wali aqrobnya bisu/tuli. Dan sebab diperbolehkannya menggunakan wali hakim yaitu; Tidak ada wali nasab; Tidak cukup syarat pada wali aqrob dan ab’ad; Wali aqrob pergi; Wali aqrob dipenjara atau tidak bisa ditemui; Wali aqrobnya adlal; Wali aqrobnya sedang ihrom; Wali aqrob sendiri yang akan menikah; Wanita yang akan menikah gila tetapi sudah dewasa, dan walinya tidak ada. Adapun syarat menggunakan wali hakim yaitu: Wali nasab tidak ada; Wali nasab Ghaib atau bepergian jauh dan tidak ada wakilnya; Tidak ada qodhi yang bisa menjadi wali.
Wali boleh mewakilkan hak perwaliannya kepada orang lain, baik wanita dibawah perwaliannya itu setuju ataupun tidak, meski dia bukan wali mujbir. Wali hanya boleh mewakilkan perwalian kepada orang yang boleh menjadi wali, yakni mereka yang memenuhi syarat sebagai wali, seperti adil, dan lain sebagainya. WALI MUJBIR: wali yang berhak menikahkan perempuan yang diwalikan diantara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapatnya terlebih dahulu. WALI ADHOL: Wali yang tidak mau menikahkan wanita yang sudah baligh yang akan menikah dengan seorang pria yang kufu.
Tidak perlu ada kontak atau hubungan antara laki-laki dengan perempuan sebelum nikah. Yang melakukan kontak atau ta`ruf adalah pihak laki-laki dengan wali. Kita sengaja mengingkari kebiasaan yang tidak sesuai dengan al Qur`an. contohnya yaitu pacaran dan sebagainya. ayat ini juga mengandung hukum bahwa perempuan yang ingin menikah dengan seorang lelaki, maka menyerahkan kepada walinya.
Al musyrikiina chattaa yu`minuu wa la’abdun mu`minun khoirun min musyriki walaw a’jabakum (laki-laki musyrik sehingga dia menjadi beriman. Dan sungguh budak laki-laki yang beriman lebih baik dari laki-laki musyrik meskipun menarik (hati) kalian): Wali tidak menyerahkan kepada anak perempuan tentang pernikahannya tetapi mengingat agama Islam. Jika anak perempuan dilamar oleh laki-laki maka teliti dilihat agamanya saja. Wali bisa menikahkan anaknya dengan paksa. Dikiyaskan dengan laki-laki yang sudah beriman yaitu laki-laki yang sudah taubat. dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi)
Budak laki-laki yang beriman lebih baik daripada orang musyrik. Hal ini juga sebagaimana diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi Radhiyallahu anhu, bahwa seseorang lewat di hadapan hadist Nabi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bertanya: “Apa yang kalian katakan mengenai orang ini?” Mereka menjawab, “Jika dia meminang pasti lamarannya diterima, jika menjadi perantara maka perantaraannya diterima, dan jika berkata maka kata-katanya didengar.” Kemudian ia diam. Lalu seseorang dari kaum muslimin yang fakir melintas, maka beliau bertanya, “Apa yang kalian katakan tentang orang ini?” Mereka menjawab, “Sudah pasti jika melamar maka lamarannya ditolak, jika menjadi perantara maka perantaraannya tidak akan diterima, dan jika berkata maka kata-katanya tidak didengar.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang ini lebih baik daripada seisi bumi orang seperti tadi.” (HR. Bukhori dan Ibnu Majah)
Ulaa`ika yad’uuna ila an-naari (mereka itu mengajak kepada neraka): Haram menikah dengan orang musyrik karena mereka pasti mengajak ke neraka. Dikiyaskan dengan itu, haram berteman, berkumpul dan sebagainya yang menyebabkan masuk neraka. Rosulullooh SAW bersabda “Seseorang itu menurut agama teman dekat/sahabatnya, maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dengan siapa ia bersahabat.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 927), dan “Tidak ada satu kaum pun yang bangkit dari sebuah majelis yang mereka tidak berzikir kepada Allah ta’ala dalam majelis tersebut melainkan mereka bangkit dari semisal bangkai keledai dan majelis tersebut akan menjadi penyesalan bagi mereka.” (HR. Abu Dawud.
Walloohu yad’uu ila al-jannati wa al-maghfiroti bi idznihi (Dan Allah itu mengajak kepada syurga dan ampunan dengan izinnya): wajib mementingkan akhirat, bebas dari neraka, masuk surga, dan dapat ampunan Allah termasuk dalam urusan pernikahan. Dikiyaskan dengan hal itu Kita pilih sekolah berdasarkan pertimbangan akhirat. Kita pilih teman lingkungan berdasarkan pertimbangan akhirat dan sebagainya.
Wayubayyinu aayaatihii li an-naasi la’allahum yatadzakkaruuna (Dan Dia menerangkan ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka, mereka mengambil pelajaran): wajib menyadari hukum Allah sangat jelas. Oleh karena itu, wajib mengambil pelajaran dan menggunakan hukum-hukum Allah SWT. Allah berfirman, “Tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman, demikian pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Tafsir Ahkam Qur`any 6C (Nikah)
Bimbingan 085731391848