Talaq, rujuk, cerai dari istri dan ‘iddah (Tafsir QS. Al Baqoroh: 228-230)

Agama Islam adalah agama rahmatanlil`alamin, dengan sifat Maha Bijaksana dan Rachman RocimNya Allah, Dia juga mengatur segala sesuatu untuk kebaikan hamba-hambanya baik di dunia maupun di akhirat, tidak terkecuali masalah tentang iddah, bagi wanita yang mana hal ini, sebagai bentuk kasih sayang dan bukti penjagaanNya kepada wanita. Hal ini Dia jelaskan dalam QS. Al Baqoroh: 228, sebagai berikut:

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru ‘. 
Tidak boleh mereka perumahan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suami-suami-suami-istri. 
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para pasangan, yang mempunyai satu tingkatan yang merupakan bukti. 
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana

Wa al-muthollaqotu yatarobbashna bi anfusihinna tsalaatsata quruu`in {dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah mereka menahan dengan diri mereka tiga (kali) suci (atau haid)}: Suami apabila menjatuhkan talak maka wajib menunggu masa iddahnya. “Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya,” (QS At-Thalaq: 1). ‘iddah ialah masa enungguh bagu wanita atau massa untuk menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.

Massa iddah bagi wanita yang dicerai yaitu dua kali masa suci atau massa haid. Cara hitungannya yaitu 1. haid: belum dihitung, 2. suci: dihitung satu kali quru’, 3. Haid: tidak dihitung, 4. suci: dihitung dua kali quru’. 5. haid            : tidak dihitung. 6. suci: dihitung tiga kali quru’. Lafadz quru’ yaitu dapat juga mengandung arti haid sebagaimana hadist A’isyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi: “Sesungguhnya ummu Habibah pernah mengalami pendarahan (istihadhah/darah penyakit), lalu dia bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi memerintahkannya untuk meninggalkan shalat pada hari-hari quru’nya (haidhnya). (HR. Abu Daud). Yang mana hal ini dengan syarat cerainya ba’da dukhul, sebagaimana Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya”. (QS. al-Ahzâb:49) jadi cerai qobla dukhul maka tidak ada massa iddah.

Wa laa yachillu lakunna an yaktumna maa kholaqo Allaahu fii archaamihinna in kunna yu`minna bi allaahi wa al-yaumial-aakhiri {dan tidak halal bagi mereka bahwa mereka menyembunyikan apa yang ciptakan (oleh) Allah dalam Rahim mereka jika mereka beriman terhadap Allah dan hari akhir}: wanita hamil haram untuk diceraikan “Wanita-wanita yang hamil waktu iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungan,” (QS At-Thalaq: 4).

Istri haram menyembunyikan kehamilan. Dan kita selalu ingat apa yang ada dalam kandungan adalah Allah yang menciptakan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu hadits shahih bersabda. “Sesungguhnya salah seorang diantara kalian dipadukan bentuk ciptaannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari (dalam bentuk mani) lalu menjadi segumpal darah selama itu pula (selama 40 hari), lalu menjadi segumpal daging selama itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh pada janin tersebut, lalu ditetapkan baginya empat hal: rizkinya, ajalnya, perbuatannya, serta kesengsaraannya dan kebahagiaannya.” (Bukhari dan Muslim)

Nabi SAW pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar saat dia menceraikan istrinya ketika haid: “Rujuklah kepada istrimu yang sudah kamu cerai itu. Tetaplah bersamanya sampai dia suci dari haid, lalu haid kembali kemudian suci lagi. Setelah itu silahkan kalau kamu mau mencerainya: bisa saat istri suci sebelum kamu gauli, atau saat dia hamil,” (HR. Muslim) Rasulullah juga bersabda, “Silahkan talak istrimu, dalam kondisi suci atau ketika sedang hamil.” (HR. Ahmad dan Muslim)

Wabu’uu latuhunna achaqqu biroddihinna in arooduu ishlaachaa {dan suami-suami mereka lebih berhak merujuki mereka dalam yang demikian itu jika mereka menghendaki perbaikan}: Saat masa iddah, suami lebih berhak untuk rujuk, dengan adanya rujuk ini agar tidak terjadi perceraian. Perdamaian adalah melepaskan sebagian hak. Syarat yang utama rujuak pada istri yaitu dengan cara yang baik sebagaimana firman Allah, “Maka rujukilah mereka dengan baik” (QS. Ath Tholaq: 2). Kedua, “Janganlah kamu merujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka” (QS Al Baqoroh 231). Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.Hal ini akan dijelaskan lebih  lanjut di ayat selanjutnya.

Wa lahunna mitslu alladzii ‘alaihinna bi l-ma’ruuf {dan bagi mereka seperti orang-orang yang atas mereka dengan cara yang baik}:wajib berusaha yakin bahwa Allah mengetahui bagaimna kwalitaslaki-laki dan bagaimana kwalitas perempuan. Oleh karena itu, kita ikuti hukum dan ketentuan Allah saja. “Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru” (QS. Ath Tholaq: 1). Yang dimaksud dalam ayat ini adalah rujuk. Sebagaimana pendapat Fathimah binti Qois, begitu pula pendapat Asy Sya’bi, ‘Atho’, Qotadah, Adh Dhohak, Maqotil bin Hayan, dan Ats Tsauri.

Rujuk menurut bahasa, Raja’a – yarji’u – Ruj’an = kembali  – mengembalikan, sedangkan menurut Istilah: Melestraikan perkawinan dalam masa Iddah Talaq Raj’I (Ulama’ Hanafiyah), Mengembalikan status hukum perkawinan sebagai suami dan istri di dalam masa Iddah setelah terjadinya Talaq Raj’i (Asy Syafi’iyah), Mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi Talak Raj’I yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddah dengan ucapan dan ketentuan tertentu.

Wajib merujuk ataupun menceraikan dengan cara yang baik, tidak menyakiti dan tetap memulyakan sesama manusia, sebagaimana Allah berfirman, “Apabila kamu mentalaq isteri-isterimu, lalu dekat kepada Iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, dan ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf pula”. (QS> Al Baqoroh: 231)

Wa li rrijaali ‘alaihinna darojatah {dan bagi para suami atas mereka kelebihan}: Laki-laki satu derajat diatas perempuan. Karena derajat lebih tinggi maka laki-laki harus menyayang perempuan, dan karena perempuan di bawah laki-laki maka harus menghormati suami. Rosululloh SAW Beliau bersabda, Beliau SAW bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR Tirmidzi) dan beliau bersabda “Perhatikanlah selalu posisimu terhadap suamimu. Sesungguhnya yang menentukan surga dan nerakamu adalah (sikapmu terhadap) suamimu.” (HR. Ahmad)

Wa Allaahu ‘aziizun chakiimun {Dan Allah itu yang sangat perkasa sangat bijaksana}: Laki-laki wajib ingat bahwa Allah lebih perkasa daripadanya, oleh karena itu. Haram bagi laki-laki kasar kepada wanita dengan kelebihannya serta wajib berusaha lemah lembut dalam menasehati wanita sebagaimana pesan Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Sampaikanlah pesan kebaikan kepada kaum wanita karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika kalian ingin meluruskannya, maka kalian mematahkannya, jika kalian biarkan saja, niscaya ia akan tetap bengkok.” (Muttafaq ‘Alaih).

Wajib yakin bahwa Allah sangat bijaksana dalam membuat hukum. Oleh karena itu, kita jalankan hukum Allah sambil kita ingat sifat Maha Bijaksananya Allah. Dikiyaskan dengan ini yaitu wajib kita berusaha mempelajari ilmu Maha bijaksananya Allah kepada orang-orang yang faham sambil banyak menafakkuri segala ketetapan atau kejadian yang dijadikan Allah, sebagaimana Allah sindir, “Allah memberi khikmah kepada siapa yang dikehendaki, barangsiapa yang diberi khikmah maka akan diberi kebaikan yang banyak, dan tidaklah mengambil pelajaran kecuali orang yang mempunyai akal” (QS: al-Baqarah; 269)

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali khawatir khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. 
Jika kamu khawatir bahwa rekomendasi (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas korban tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. 
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka tampaknya orang-orang yang zalim

Ath-tholaaqu {talak itu}: talak menurut Ulama mazhab Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa talak adalah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung untuk masa yang akan datang dengan lafal yang khusus. Menurut mazhab Syafi’i, talak adalah pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan itu.Menurut ulama Maliki, talak adalah suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri.

Dilihat dari segi cara suami menjatuhkan talak pada istrinya, talak dibagi menjadi 2, yaitu: 1). Talak Sunni: talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dan istri dalam keadaan suci atau tidak bermasalah secara hukum syara’, seperti haidh, dan selainnya. 2). Talak Bid’i: talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dan istrinya dalam keadaan haid, atau bermasalah dalam pandangan syar’i.

Dilihat dari segi boleh tidaknya suami rujuk dengan istrinya, maka talak dibagi menjadi dua, yaitu talak raj’i dan talak ba’in. Talak Raj’i: Talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya (talak 1 dan 2) yang belum habis masa iddahnya. Dalam hal ini suami boleh rujuk pada istrinya kapan saja selama masa iddah istri belum habis. Talak Ba’in: Talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang telah habis masa iddahnya.

Dalam hal ini, talak ba’in terbagi lagi pada 2 yaitu: talak ba’in sughra dan talak ba’in kubra. Talak ba’in sughra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya (talak 1 dan 2) yang telah habis masa iddahnya. suami boleh rujuk lagi dengan istrinya, tetapi dengan aqad dan mahar yang baru. sedangkan talak ba’in kubra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya bukan lagi talak 1 dan 2 tetapi telah talak 3. dalam hal ini, suami juga masih boleh kembali dengan istrinya, tetapi dengan catatan, setelah istrinya menikah dengan orang lain dan bercerai secara wajar.

Rukun talak yaitu 1). suami, jika selain suami tidak boleh menthalaq, 2). Isteri, orang yang dilindungi oleh suami dan akan dithalaq. 3). Lafazh yang ditujukan untuk menthalaq, baik itu diucapkan secara langsung maupun dilakukan dengan sindiran dengan disertai niat. Adapun Syarat mentalak yaitu 1). Benar-benar suami yang sah. Yaitu keduanya berada dalam ikatan pernikahan yang sah, 2). Telah Baligh, Tidak dibenarkan jika yang menthalaq adalah anak-anak. 3). Berakal sehat yaitu tidak gila. 4). Orang yang menjatuhkan thalaq harus dengan ikhtiar, tidak sah menjatuhkan thalaq tanpa ikhtiar dan karena terlanjur dalam lisan. 5). Orang yang menjatuhkan thalaq harus orang yang pintar, mengerti makna dari bahasa thalaq, tidak sah orang yang tidak mengerti arti thalaq. 6). Orang yang menjatuhkan thalaq tidak boleh dipaksa tidak sah menjatuhkan thalaq dengan dipaksa.

Marrotaani fa imsaakun bi ma’ruufin aw tasriichun bi ichsaan {dua kali, maka menahan dengan cara yang patut atau menceraikan dengan cara yang baik}: Maha Sayang Allah dalam kebijaksanaan hukumnya untuk menghapus tradisi yang berlaku yaitu seorang laki-laki lebih berhak merujuk istrinya mentalaknya seratus kali selama masih dalam menjalani masa iddah. Ketika tradisi tersebut banyak merugikan para istri, maka Allah Ta’ala membatasi mereka dengan tiga talak saja, dan membolehkan mereka untuk merujuknya kembali pada talak pertama dan kedua saja, dan tidak memungkinkan untuk ruju’ (kembali) lagi setelah talak yang ketiga. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat ini. Adapun diriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Bahwasanya jika seorang laki-laki menalak istrinya, maka ia lebih berhak merujuknya meskipun ia telah menalaknya tiga kali. Lalu hal itu dinasakh (dihapus) dengan firman Allah Ta’ala ini.” (HR. Imam Nasa’i).

Difahami bahwa talak hanya 2 kali yang boleh menahan atau menceraikan, sedangkan talak yang ketiga sudah haram menahannya atau merujuknya, sebab hal ini disebut talak ba`in kubro. Hal ini akan lebih dijelaskan di ayat selanjutunya.

Wa laa yachillu lakum an ta`khudzuu mimmaa aataitumuuhunna syai`an {dan tidak halal bagi kalian bahwa kalian mengambil dari apa yang kalian telah berikan pada mereka sesuatu}: Sesuatu yang sudah diberikan kepada istri haram untuk diminta kembali. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Surah An-Nisaa’ ayat 19 yang artinya: “Dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, terkecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” Jika seorang istri memberikan sesuatu dengan ketulusan hatinya, maka Allah Ta’ala telah berfirman dalam Surah An-Nisaa’ ayat 4 yang artinya: “Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Wajib meyakini bahwa segalanya adalah milik Allah, untuk jalan Allah (dalam rangka memberi karena Allah) dan ikhlas karena Allah. Suami juga wajib berusaha yakin bahwa yang menjadikan ia mampu memberi adalah Allah. Demikian juga yang sudah kita sedekahkan atau yang kita wakafkan haram ditarik kembali. Baru niat saja hendaknya tidak, apalagi benar-benar untuk ditarik kembali.

Illaa an yakhoofaa allaa yuqiimaa chuduuda Allaah {melainkan keduanya khawatir bahwa keduanya tidak melaksanakan hokum-hukum Allah}: Boleh cerai jika takut tidak bisa menjalankan hukum Allah. Namun tetap wajib berusaha menghindari terjadinya talak, sebab dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, secara marfu’ yang menyatakan, “perkara Halal yang paling dibenci Allah adalah thalak.” (HR. Abu Daud). hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, Nabi ‘alaihis shalatu was salam bersabda, “Sesungguhnya iblis singgasananya berada di atas laut. Dia mengutus para pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar godaannya. Di antara mereka ada yang melapor, ‘Saya telah melakukan godaan ini.’ Iblis berkomentar, ‘Kamu belum melakukan apa-apa.’ Datang yang lain melaporkan, ‘Saya menggoda seseorang, sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah bepisah (talak) dengan istrinya.’ Kemudian iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata, ‘Sebaik-baik setan adalah kamu.’” (HR. Muslim).

Fa in khiftum allaa yuqiimaa chuduud-Allaahi falaa junaacha ‘alaihimaa fiima ftadatbih {maka jika kalian khawatir bahwa keduanya tidak melaksanakan hokum-hukumnya Allah, maka tiada dosa bagi keduanya tentang apa yang ia (istri) membayar tebusan dengannya}: jika keduanya benar benar berniat bercerai maka Alasan istri minta diceraikan hanya karena takut tidak bisa menjalankan hukum Allah. Dan haram istri meminta cerai selain karen takut tidak dapat menjalankan perintah Allah sebab dari Abu Qalabah, ia menceritakan, bahwa Abu Asma’ dan Tsauban pernah berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya dengan alasan yang tidak dibenarkan, maka diharamkan baginya wangi surga” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Jarir, dari Hamad bin Zaid)

Istri yang diwakili hakim untuk bercerai dengan alasan takut tidak bisa menjalankan hukum Allah, maka tidak ada dosa untuk si istri menebus diri dengan dana yang ditentukan. Sebagaimana ayat ini turun berkenaan dengan Tsabit bin Qais bin Syamasy dengan istrinya, Habibah binti Abdullahbin Ubay bin Salul. Imam Malik meriwayatkan, dari Habibah binti Sahal Al-Anshari, bahwa ia pernah menjadi istri Tsabit bin Qais bin Syamasy. Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wasallam hendak berangkat mengerjakan Salat Subuh, lalu beliau menemukan Habibah binti Sahal berada di pintunya pada saat gelap gulita diakhir malam. Maka beliau bertanya: “Siapa ini?” Ia menjawab: “Aku Habibah binti Sahal.” “Apa gerangan yang terjadi padamu?” Tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wasallam Habibah berujar: “Aku bukan istri Tsabit lagi.” Ketika suami-nya, Tsabit bin Qais datang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata kepadanya: “Ini adalah Habibah binti Sahal, ia telah menceritakan apa yang menjadi masalahnya.” Maka Habibah bertutur: “Ya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, semua yang ia berikan kepadaku masih berada padaku.” Kemudian beliau berkata kepada Tsabit: “Ambillah darinya.” Maka ia pun mengambil tebusan darinya dan Habibah pun berkumpul bersama keluarganya (pulang ke rumah orang tuanya). (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa’i)

Pertimbangan khawatir bisa dipakai untuk memutuskan perkara. Contohnya dalam ayat ini yaitu khawatir tidak dapat menjalankan perintah Allah. Termasuk khawatir tidak dapat memberi nafkah, khawatir tidak dapat melayani suami dan sebagainya. Adapun khawatir mengenai harta, Allah berfirman, “Apabila mereka berdua berpisah, maka Allah akan memberi kecukupan pada mereka berdua.” (QS. An Nisa:130)

Tilka chuduudu Alloohi falaa ta’taduuhaa {itulah hokum-hukum Allah maka janganlah kalian melanggarnya}: wajib kita laksanakan dan kita agungkan hukum-hukum Allah. Allah berfirman, “… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. al-Hasyr: 7) dan hadist Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘ Apa saja yang aku larang terhadap kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya apa yang membinasakan umat sebelum kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-nabi mereka ‘. (HR. Bukhori & Muslim). Dikiyaskan dengan ini haram meremehkan atau mengabaikan hukum Allah, misalnya tidak mengamalkannya, termasuk juga tidak mau mepelajarinya.

Laki-laki walaupun berhak mentalak istri tetap dibenci oleh Allah. Boleh tapi makruh hukumnya. Dan wajib meyakini hukum makruh ini sebagai rahmat dari Allah. Sebagaimana Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah ta’ala telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah kalian lalaikan, dan Ia telah menetapkan batasan-batasan maka jangan kalian lampaui, dan Ia telah mengharamkan beberapa hal maka jangan kalian langgar, dan Ia telah mendiamkan beberapa hal (tanpa ketentuan hukum) sebagai rahmat bagi kalian  bukan karena lupa maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya” (HR. ad-Daaruquthni).

Wa man yata’adda chuduuda Allaahi fa ulaaika humu azh-zhoolimuun {dan siapa yang melanggar hokum-hukum Allah maka mereka itu, mereka orang-orang yang zholim}: wajib berusaha menghindari menjadi orang yang dzolim dengan cara tidak melanggar dan mengagungkan hukum-hukum Allah. Zholim itu ada tiga, 2). Zholim kepada Allah dan Rosul yaitu tidak ttidak menggunakan hukum-hukum Allah dalam memutuskan suatu perkara, Allah berfirman dalam surat Luqman ayat 13: “Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.” 2). Zholim kepada sesama manusia, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang berbuat zalim kepada saudaranya, baik terhadap kehormatannya maupun sesuatu yang lainnya, maka hendaklah ia meminta kehalalannya darinya hari ini juga sebelum dinar dan dirham tidak lagi ada. Jika ia punya amal salih, maka amalannya itu akan diambil sesuai dengan kadar kezaliman yang dilakukannya. Dan jika ia tidak punya kebaikan, maka keburukan orang yang ia zalimi itu dibebankan kepadanya.” (HR Bukhari). 3). Tidak menjalankan perintah Allah dan Rosul, dan tidak menghindari laranganNya, Allah berfirman “Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al baqoroh: 57)

Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui

Fain thollaqohaa falaa tachillu lahuu min ba’du {maka jika dia menalaknya maka tidak halal baginya (menggauli) dari setelahnya (menalak tiga)}: haram menggauli istri setekah melakukukan talak tiga sebab talak hanya yang boleh langsung rujuk hanya dua kali, yang ketika sudah disebut talak ba`in kubro. Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dan habis masa iddahnya.

Dari Ismail bin Sami’, bahwa Abu Razin Al-Asadi mengatakan, ada seseorang yang berkata: Artinya: “Ya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bagaimana pendapat anda mengenai firman Allah Ta’ala: “Talak (yang dapat dirujuk) dua kali,” lalu di mana dengan yang ketiganya?” Maka beliau menjawab, “Yang ketiga adalah (pada kalimat) menceraikannya dengan cara yang baik.” (HR. Imam Ahmad)

Chattaa tankiha zaujan ghoirohuu {sehingga dia menikah (pada) suami selainnya}: jika sudah talaq yang ketiga (talak ba’in) tidak ada hak rujuk. Kemudian jika istri itu nikah kepada suami yang kedua, kemudian cerai, maka boleh untuk kembali ke suami yang pertama, menikah lagi. Nikah dengan suami yang kedua, harus nikah penuh, yaitu ucapan dan perbuatan.

Sebagaimana hadist darivAisyah ra. bercerita kepada seorang (periwayat hadis) bahwa istri Rifaah al-Qaradzi datang kepada Rasulullah, berkata “Wahai Rasul, sesungguhnya Rifaah telah menceraikanku dan telah  habis  masa  idah, lalu aku menikah dengan Abdur Rahman bin Zubair al-Qaradzi. Hanya, bersama dia rasanya hambar (belum dukhul?).” Rasulullah berkomentar, “Agaknya kamu ingin kembali menikah dengan Rifaah. Tidak…, sebelum ia (suami kedua yang bernama Abdur Rahman bin Zubair) merasakan manisnya madu denganmu dan kamu merasakan manisnya madu dengannya.” (H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Turmudzi, Ibn Majah, Ahmad).

Syarat yang kedua yaitu haram sengaja menikah kepada suami kedua agar dapat kembali dengan suami pertama. Dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat al-Muhallil (laki-laki yang menikahi seorang wanita dengan tujuan perempuan yang dibolehkan menikah dengan suaminya yang pertama) dan al-Muhallal lahu (laki-laki yang menyuruh muhallil untuk menikahi bekas isterinya agar isteri tersebut dibolehkan untuk dinikahinya lagi)”. (HR. Abi Dawud & Tirmidzi)

Fain thollaqohaa falaa junaacha ‘alayhimaa an yatarooja’aa in zhonnaa an yuqiimaa chuduuda Allaah {maka jika dia menalaknya maka tiada dosa atas keduanya untuk mereka saling rujuk jika keduanya mengira bahwa keduanya melaksanakan hokum-hukumnya Allah}:  Nikah dengan “Muhallil” agar menghalalkan untuk nikah dengan suami yang pertama, maka haram dan tidak sah, hukumnya sama dengan berzina. Dari ‘Uqbah bin’ Amir Radhiyallahu anhu, ia mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang at-Taisil Musta’aar (domba pejantan yang disewakan)?” Para Sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah” beliau kemudian bersabda, “Ia adalah al-Muhallil, Allah akan melaknat al-Muhallil dan al-Muhallal lahu‘” (HR. Ibnu Majah).

Dari ‘Umar bin Nafi’ dari bapaknya, bahwasanya ia berkata, “Telah datang seorang lelaki kepada Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu dan menanyakan tentang seseorang yang telah menceraikan isterinya dengan talak tiga, kemudian saudara laki-lakinya menikahi wanita tersebut tanpa persetujuan dengan pasangan pertama agar wanita tersebut halal kembali bagi saudaranya, maka apakah wanita tersebut halal dinikahi kembali oleh suaminya yang pertama?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali nikah yang didasari rasa suka, kami menganggap hal tersebut adalah suatu hal yang keji pada zaman Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bayhaqi)

Muhallil = nikah untuk diceraikan termasuk kawin kontrak, kawin mut’ah. Haram semuanya. Tapi kalau akad nikah, tidak sampai kumpul cerai lagi tidak apa-apa. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada bab selanjutnya.

Wa tilka chuduudu Allaahi yubayyinuhaa li qowmin ya’lamuun {dan itulah hokum-hukumnya Allah Dia menerangkannya bagi kaum (yang) mereka mengetahui}: wajib berusaha mempelajari hukum-hukum Allah termassuk hukum tentang talak, rujuk, dan cerai. Dikiyaskan dengan ini, kita nikah dalam rangka untuk menegakkan hukum-hukum Allah dan menjalankan sunnah Rosul, sehingga nikah untuk ibadah pada Allah dan jika terpaksa cerai hanya karena khawatir tidak lagi dapat menegakkan hukum-hukum Allah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *