Maha Kuasa Allah lebih dari segala penguasa di bumi. Tuhan yang menciptakan dan Menguasai seluruh alam, sungguh lebih mengerti dari apa yang Dia ciptakan. Termasuk dalam penciptaan manusia, Dia Sangat Mengerti bagaimana watak, sifat atau perilaku setiap hamba-hambaNya. Sehingga Wajib bagi kita untuk mengikuti apa yang diperintah dan menjauhi apa yang dilarang, sebab hal itu tidak lain adalah untuk kebaikan kita, baik di dunia maupun di akhirat. Dan wajib juga kita selalu ingat bahwa al Qur`an adalah untuk kita bukan untuk orang lain. Al Qur`an ancam yang kafir untuk kekafiran kita, bukan untuk mengkafirkan orang lain. Berikut Ayat tentang aturan memilih pemimpin dan teman setia dalam QS. Ali Imron: 28
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).
Laa yattakhidzil mu’minuuna lkaafiriina awliyaa’a min duunilmu’miniina {janganlah (seorang) mengambil oleh kalian orang-orang mukmin pada orang-orang kafir sebagai pemimpin dari selain orang-orang mukmin}: haram mengambil atau menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, meskipun saudara. Misalnya, memilih takmir masjid, pemimpin keluarga (suami), kepala desa, bupati, presiden dan sebagainya karena ia saudara kita. Wajib memilih pemimpin hanya berdasarkan agamanya, bukan karena duniawinya seperti hartanya, tahtanya, keluarganya dan sebagainya.
Harom mengambil orang kafir sebagai teman yang dipercaya. Sebagaimana lafadz auliyaa`a mengandung dua arti yaitu berarti pemimpin dan juga bisa berarti teman setia. Sebagaimana diperingatkan oleh Nabi, “Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap” (HR. Bukhari dan Muslim)
Wajib Memilih pemimpin dan teman setia dengan pertimbangan agama, bukan karna harta atau disogok. Bukan karna keluarga dan bukan yang berpotensi untuk menang atau karna tahta.
Kafir yaitu pecinta isiya dunia, tidak cinta Allah dan akhirat. Wajib menjadi pemimpin yang beriman yaitu yang menggungkan Allah dan akhirat, memulyakan Nabi, tidak cinta isinya dunia, tidak ambisi jabatan dunia, dan misinya yaitu mengajak ke syurga.
Waman yaf`al dzaalika falaysa mina lloohi fii syai`in {dan siapa yang ia berbuat itu, maka bukanlah dari Allah dalam sesuatu}: barangsiapa yang memilih pemimpin dan teman setia dari orang kafir maka tidak dibina oleh Allah. Kita takut ancaman tidak dibina oleh Allah, sebab itu termasuk kecelakaan terbesar selama di dunia dan akhirat. Sebagaimana Nabi bersabda, “Apabila kamu menyaksikan pemberian Allah dari materi dunia atas perbuatan dosa menurut kehendakNya, maka sesungguhnya itu adalah uluran waktu dan penangguhan tempo belaka (istidroj)”. Kemudian Rasulullah membaca firman Allah dalam surat Al An’am ayat 44 : “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu, mereka terdiam berputus asa.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)
Wajib memilih pemimpin dalam rangka takut kepada Allah, karena jika tidak cinta Allah dan akhirat atau bukan golongan dari mukmin, suatu yang diperbuatnya juga bukanlah bimbingan dari Allah. Sedangkan pengagung Tuhan pasti binaan Tuhan, hati, akal dan fikiran dari Tuhan dan bertindak atas ilham Tuhan.
Illaa an tattaquuminhum tuqootan {kecuali kalian takut(memelihara diri) dari mereka dengan benar-benar takut}: larangan mengambil orang kafir menjadi pemimpin dikecualikan terjadi bahaya yang lebih besar. Boleh menjadikan orang kafir sebagai pemimpin jika terpaksa, misalnya: jika kita (orang mukmin) tidak mau menikah dengan orang kafir, kita akan dibunuh, maka kita diperbolehkan menikah dengan orang kafir asalkan kita bisa menjaga diri. Hal ini juga diperjelas dalam Firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 106 yang artinya, “Barangsiapa kafir terhadap Allah sesudah dia beriman, dia mendapat kemurkaan Allah, kecuali orang-orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (maka dia tidak berdosa); akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. Rasulullah SAW juga bersabda: “Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla memaafkan kesalahan (yang tanpa sengaja) dan (kesalahan karena) lupa dari umatku serta kesalahan yang terpaksa dilakukan” (HR. Ibnu Majah dan al Baihaqi)
Sedangkan paksaan untuk berbuat ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, yang diperbolehkan oleh keadaan (darurat). Misalnya, paksaan untuk meminum khamar, memakan bangkai, memakan daging babi, memakan harta orang lain, atau apa yang diharamkan Allah. Dalam keadaan jika tidak makan maka tidak dapat bertahan hidup, maka diperbolehkan melakukan hal itu semuanya. Kedua, paksaan yang tidak diperbolehkan oleh keadaan (tidak darurat). Misalnya, paksaan untuk membunuh, melukai, menganiaya, berzina, dan merusakkan harta.
Diqiyaskan dengan itu, maka haram memaksakan orang lain untuk memilih kita. Contohnya: seorang laki-laki memaksakan seorang perempuan untuk memilihnya menjadi suami, maka itu tidak boleh, karena haram memaksakan kehendak orang lain untuk memenuhi keinginan kita. Keharaman memaksakan kehendak atau menuntut sesuatu sebagaimana hadist dari Ibnu Abbas ra mengatakan Nabi Muhammad SAW bersabda “Barang siapa meminta sesuatu kepada orang lain, padahal Ia tidak dalam keadaan terjepit oleh suatu musibah pada dirinya atau keluarganya, maka kelak pada hari kiamat Ia datang dengan wajah tanpa daging sedikitpun” (HR. Baihaqi). Bahkan Allah SWT saja tidak memaksakan manusia untuk harus memeluk Islam sebagaimana Allah berfirman dalam Qs. al-Baqarah: 256: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat.”
Wa yuchadzdzirukumu lloohu nafsah {dan memperingatkan (pada) kalian (oleh) Allah (tentang) diriNya}: Allah menakut-nakutin kita agar kita takut pada Allah, sehingga ketika takut disiksa maka kita taqwa pada Allah, kita ingat Allah. Kita takut pada Allah karena Allah. Misalnya, takut bertemu lawan jenis karena Allah, takut membunuh karena Allah dan lain-lain.
Wajib berusaha saling mengingatkan tentang Allah. Terutama ketika dalam keadaan ketakutan, kesempitan atau kesulitan bahwa yang menakut-nakuti adalah Allah dan yang dapat menenangkan kita juga adalah dengan mengingat Allah. Sebagaimana Allah berfirman: “(yaitu) orang-orang yang beriman lagi hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenteram.” (QS Ar-Ra’du: 28).
Jika dijadikan Allah sebagai pemimpin, maka wajjib mengajak dzikir, memberikan sarana dzikir dan mengagungkan Allah. Contoh: mendirikan masjid dan madrasah, mensejahterkana pesantren, kyai, santri dan sebagainya.
Wa ila Allohil mashiir {dan pada Allah tempat kembali}: kita kembalikan segala urusan kepada Allah. Misalnya karena melakukan perintah Allah sehingga tidak berhasil maka kita kembalikan pada Allah tetapi kita tetap laksanakan hukumNya, jangan kembalikan atau pertimbangkan dengan akal. Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Seandainya agama dengan logika, maka tentu bagian bawah khuf (sepatu) lebih pantas untuk diusap di atasnya. Sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya (sepatunya)” (HR. Abu Daud)
Wajib juga berusaha ingat dan mengingatkan tentang akhirat, sebab manusia dihidupkan di dunia ini, diperitah untuk menghamba pada Allah. Misalnya: melakukan sholat, puasa, zakat shodaqoh dan sebagainya, itu hanya untuk tujuan akhirat saja, oleh karena itu kembalikan segalanya kepada Allah.