Wanita adalah salah satu makhluk Allah yang sangat mulia di dunia dan yang palig mulia di antaranya mereka yaitu wanita yang sholichah sebagaimana disebutkan dalam hadist Nabi, Dalam hadist H.R Muslim Rasulullah saw bersabda “dunia adalah perhiasan dan sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah wanita sholihah”. Sungguh Maha Mulia Allah jauh di atas Kemulyaan makhluknya dan sangat suka memulyakan.
Kajian ayat dan hadist Qs. An Nisa: 34
Arrijaalu qowwamunaa `alannisaaa’i {laki-laki adalah pemimpin bagi wanita-wanita}: wajib bagi laki-laki menjadi pemimpin bagi wanita. Kaum laki-laki sebagai pemimpin bagi wanita, maksudnya adalah suami harus dapat menguasai dan mengurus keperluan istri, dalam hal mendidik budi pekerti, dan sebagainya. Dalam hal penegakan hak dan kewajiban istri dipimpin oleh suami, meskipun istri lebih pintar daripada suami, maka tetap suami menjadi pemimpin.
Semakin pintar istri maka semakin siap untuk dipimpin dan semakin istri tidak siap dipimpin maka semakin bodoh.
Misalnya, dalam sholat istri lebih fasih dalam membaca al Qur`an, maka istri yang pintar tetap menjadikan suaminya imam. Begitu juga dalam hal pekerjaan, jika rizki diberikan Allah melalui istri maka istri wajib menyerahkan kepada seorang suami, sebab istri dapat bekerja karena atas izinnya suami. Contoh; jika seorang istri adalah direktur dan suaminya hanya seorang tukang cukur, maka tetap suamilah yang memipin keluarga, keuangan, pendidikan, dan sebagainya.
Diqiyaskan dengan ini maka dalam berjamaah sholat, yang wajib jadi imam adalah laki-laki. Jika hadis yang tidak demikian maka hadist batal demi kemulyaan al Qur`an. Wajib bagi laki-laki belajar agamanya Allah agar siap menjadi imam atau pemimpin.
Makruh menjadikan wanita sebagai pemimpin, sebab kekurangan akalnya. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.” (HR. Bukhari no. 4425).
Haram bagi laki-laki tidak membina istri dan anak anaknya sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Tiga golongan yang Allah SWT haramkan baginya surga, yaitu pecandu khamar, orang yang durhaka kepada orang tuanya, dan lelaki dayyuts (laki-laki yang acuh dan tidak ambil peduli dengan siapa istri dan anak-anaknya bergaul, pergi, bertemu) yang membiarkan kemaksiatan dilakukan dalam rumah tangganya.” (HR Ahmad dan al-Nasa`i).
Wanita wajib benar benar menghormati suami sebagai pemimpin, sebab pesan Nabi Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, maka aku akan memerintahkan para istri untuk sujud kepada suaminya, disebabkan karena Allah telah menetapkan hak bagi para suami atas mereka (para istri). (HR Abu Dawud & Tirmidzi)
Wajib memilah laki-laki yang akan dijadikan pemimpin, yaitu; (1). Beriman pada Allah dan Akhirat, dikiyaskan dengan itu yaitu cinta Allah, Nabi dan Ulama, hal ini sebagaimana perintah Allah, “…Janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman…”(Q.S. Al-Baqarah: 221). (2). Faham ilmu agama dan berakhlak baik, sebagaimana pesan Nabi, “Bila datang seorang laki-laki yang kamu ridhoi agama dan akhlaknya, hendaklah kamu nikahkan dia, karena kalau engkau tidak mau menikahkannya, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas” (H.R. Tirmidzi dan Ahmad). (3). Menjaga diri dan keluarganya dari perbuata maksiat, sebagimana Allah perintahkan, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah atas perintah Allah kepada mereka dan selalu taat pada apa yang diperintahkan” (Q.S. At-Tahriim: 6).
Bimaa fadhdhola Alloohu ba`dhon `alaa ba`dhin {dengan apa yang mengutamakan oleh Allah (pada) seagian mereka atas sebagian (yang lain)}: wajib menggunakan kebenaran hukum Allah misalnya, menjadikan laki-laki punya kelebihan atas perempuan, antara lain yaitu dapat mengerjakan pekerjaan berat-berat dan sulit; serta dapat menjamin biaya yang dibutuhkan rumah tangga seperti makanan, pakaian, pendidikan dan hiburan untuk anak-anak dan keluarga.
Melaksanakn hukum Allah adalah untuk mencapai kondisi atau keadaan yang ditentukan oleh Allah. Contoh; agar suami mempunyai kelebihan atas istri maka suami menjadi pemimpin untuk pembenaran hukum Allah, bukan untuk menyalahkan sebaliknya. Misalnya, suami menjadi pemimpin karena Allah melebihkannya, tidak berarti suami menjadi yang dipimpin jika tidak mempunyai kelebihan. Sebab hukum Allah berdiri sendiri-sendiri.
Contoh lain; disamping suami wajib menjadi pemimpin juga wajib mempunyai kelebihan. Contoh 2; hukum haram membunuh anak karena takut melarat, berarti haram membunuh anak juga haram takut melarat (susah urusan duniawi).
Wajib beramal sholeh dengan kelebihannya masing-masing. Contoh, jika laki-laki berjuang atau beramal sholeh dengan berperang, maka istri bisa berjuang dengan hanya taat kepada suami; amal sholeh laki-laki adalah memaafkan, sedangkan perempuan adalah banyak minta maaf; amal sholeh laki-laki adalah keluar rumah, maka perempuan adalah menjaga diri dengan tidak keluar rumah.
Sebagaimana hadist Nabi yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, dia mengatakan: “seorang wanita datang menemui Rosululloh SAW, kemudian berkata, ‘Wahai Rosululloh laki-laki memiliki keutamaan dan mereka juga berjihad di jalan Allah. Apakah bagi kami kaum wanita bisa mendapatkan amalan orang yang jihad di jalan Allah?’, Rosululloh bersabda: ‘barangsiapa di antara kalian yang tinggal di rumahnya, maka ia mendapatkan pahala mujahid di jalan Allah’”.
Rosulullooh bersabda, “aku tau bahwa engkau senang sekali sholat bersamaku, tetapi sholatmu adalah lebih baik di kamarmu, dan sholatmu di kamarmu adalah lebih baik dari pada sholatmu dipekarangan rumahmu, dan sholatmu dipekarangan rumahmu adalah lebih baik dari pada sholatmu di masjidku”. (HR.Ahmad)
Wajib bagi wanita memulyakan laki-laki sebagaimana Allah memulyakan dan melebihkan laki-laki dari perempuan. Ayat ini didukung dengan firman Allah, “Kami tidaklah mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka. Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 7)
Wabimaa anfaquu min amwaalihim {dan dengan apa yang mereka nafkahkan dari harta-harta mereka}: Allah melebihkan kaum laki-laki di atas kaum wanita karena kaum lelaki memberikan maskawin dan nafkah kepada wanita. Hal ini menunjukkan bahwa Allah sayang kepada wanita, maka haram wanita iri kepada laki-laki. Maka, wanita wajib bersyukur pada Allah dan berterimakasih kepada suami. Sebagaimana hadist Rosulullooh, “Allah tidak akan melihat seorang istri yang tidak berterima kasih kepada (kebaikan) suaminya, padahal ia selalu butuh kepada suaminya” (HR. An Nasa`i)
Wajib bagi laki-laki memberi nafkah kepada istri. Sebagaimana Rosululloh bersabda, “hak istri atas suami adalah memberi makan kepadanya, jika ia(suami) makan, memberi pakaian kepadanya apabila ia (suami) berpakaian, dan jangan menampar wajah, jangan menjelek-jelekkan dan jangan membiarkan (memisahkannya) kecuali dalam hal tempat tidur” (HR. Thamrani dari Muawiyah bin Haidah).
Jika Allah memberi rizki melalui istri, maka istri wajib menyerahkan kepada suami karena istri adalah budak suami atau karena istri dapat bekerja mencari nafkah adalah atas izin suami. Diqiyaskan dengan itu, jika seorang istri S3 dan suami S1, maka kedudukan suami tetap menjadi pemimpin bagi wanita.
Jika karena suatu keadaan, sehingga istri memberi nafkah kepada suami maka wajib di i`tikati bahwa istri memberikan karena taatnya, bagaikan budak menyerahkan penghasilan kepada tuannya, kemudian suami memberi nafkah dengan harta itu. Suami memberi nafkah bukan alasan yang menyebabkan suami menjadi pemimpin, melainkan adalah pembenaran hukum Allah. Sehingga wanita sholichah adalah wanita yang siap dan ikhlas dipimpin oleh suami.
Rosululloh bersabda, “wanita mana saja yang berbuat durhaka terhadap suami, maka dia mendapat kutukan Allah, kutukan para malaikat, dan kutukan seluruh umat manusia”. Dan sabda Nabi, “wanita mana saja durhaka dihadapan suaminya, melainkan ia berdiri dari kuburnya mukanya menjadi hitam. Dan wanita yang keluar rumahnya tanpa seizin suaminya maka ia dilaknat oleh para malaikat hingga ia kembali”.
Istri mempunyai hak untuk dinafkahi sebagaimana di sabdakan Nabi, Rasulullah Saw bersabda: “Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami).’’ (HR. Muslim). Namun, tidak bagi istri durhaka sebagaimana kesepakatan para ulama, “Ibnu Al-Munzir berkata, ‘Para ulama telah bersepakat wajibnya nafkah untuk para istri yang menjadi tanggungan suami-suami mereka, jika mereka sudah baligh. Dikecualikan jika istri-istri itu membangkang. Abu Umar berkata, ‘Barangsiapa yang istrinya membangkang sesudah dia menggaulinya, maka gugurlah hak nafkahnya” (Tafsir Al-Qurthubi, juz 5 hlm 174).
Dalam hal nafkah, Wanita sholichah yaitu (1). Tidak banyak menuntut masalah nafkah, sebagai mana Allah pun tidak memberikan beban nafkah kecuali sesuai kesanggupan hambanya, “…seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya”. (QS. Al-Baqarah 233). Melainkan apa yang Allah karuniakan, “…Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang telah Allah karuniakan kepadanya…. (QS.Ath Thalaq:7).
(2). Memberikan keringan dalam memenuhi kebutuhannya, sebagaimana pesan Allah, dalam ayat Al-Quran yang berbunyi: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.’’ (QS.Al-Baqarah: 280).
(3). Mengambil atau memanfaatkan bagian nafkahnya secara patut, sebagaimana pesan Nabi,Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Hindun bintu ‘Itbah berkata,’’Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir, dia tidak memberi nafkah yang cukup buat aku dan anak- anakku, kecuali aku harus mengambilnya sedangkan dia tidak tahu,’’ maka (Rasulullah) mengatakan,’’ambillah apa yang cukup buatmu dan anak- anakmu dengan cara yang patut.’’ (HR. Bukhori 4945).
(4). Beryukur pada Allah dan berterimakasih kepada suami, berapapun pemberiannya. Sebagaimana pesan Rosululloh SAW, Artinya: “Allah tidak akan melihat kepada seorang istri yang tidak bersyukur kepada suaminya padahal dia membutuhkannya.” (HR. An-Nasai). Oleh karena itu, wajib bagi wanita untuk bersyukur atas pemberian suami.
Fash shoolichaatu {maka wanita sholichah itu}: wanita sholichah adalah wanita yang banyak amal sholich. Sebagaimana asal lafadz “shoolichaatun” yang berasal dari “sholicha-yashlichu” yang artinya menjadi baik, benar, berbudi luhur, tidak memihak (ditengah-tengah), cocok, pantas, menyesuaikan, mencocokkan, membenahi, diperbaiki, bermanfaat. Derajat wanita sholichah menepati tempatnya ulama`, pejuang, wali dan sebagainya. Wajib berusaha menjadi wanita sholichah, atau membimbing untuk itu dengan cara berdoa dan sebagainya. Memulyakan wanita yang baik dengan sebutan sholichah, bukan memulyakan dengan sebutan wanita cantik, seksi, terkenal dan sebagainya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya; “Wahai Rasulullah, wanita yang bagaimana yang paling baik?” maka Beliau menjawab: “Wanita yang menyenangkan hati jika dilihat (suami), taat jika diperintah dan tidak menyelisihi pada sesuatu yang ia benci terjadi pada dirinya (istri) dan harta suaminya.” (HR. Ahmad)
Qoonitaatun {wanita-wanita taat}: wajib berusaha menjadi wanita yang taat pada Allah dan suami. Qoonitaatun termasuk lafadz musytarok (lebih dari satu arti), yaitu; bisa berarti taat kepada Allah dan suami, jika tidak ada ayat lain yang mengharuskan tidak demikian, maka wajib menggunakan semua arti tersebut.
Istri wajib taat kepada suami tetapi sebaliknya suami tidak wajib taat pada istri, dengan aturan dalam rangka taat kepada Allah, jika aturan suami atau perintah suami menyimpang dari aturan Allah maka haram ditaati apa yang menyimpang tersebut. Hal ini berarti kewajiban suami dan istri berbeda, contoh istri wajib menghibur suami yang susah, tetapi suami tidak wajib menghibur istri yang susah, hanya wajib memaafkan. Istri wajib meminta izin puasa sunnah dan sholat sunnah kepada suami sedangkan suami tidak; istri wajib taat jika di ajak tidur, suami tidak; istri wajib taat jika diperintah memakai pakaian tertentu, suami tidak.
Batas taat istri pada suami adalah tidak durhaka pada Allah, apakah suami baik atau tidak. Misal: suami seperti Fir`aun, untuk merawat bayi atau melakukan kewajiban kepada Allah, maka tidak wajib minta izin kepada suami, namun sebaiknya memberi tahu.
Rosululloh bersabda, “jika seorang suami memanggil istrinya ketempat tidurnya, namun istrinya enggan (datang), lalu suami bermalamdalam keadaan marah kepadanya, malaikat melaknat istri itu sampaimasuk waktu subuh” (HR. Al Bukhori) dan juga sabda Nabi, “wanita mana saja yang diajak suaminya ke tempat tidur, lalu ia menunda-nunda sampai tidur, maka dia berada dalam laknat Allah”. Dan Rosululloh juga bersabda, “Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, niscaya akan dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau”.(HR. Ahmad).
Chaafizhootun {menjaga diri}: wanita wajib menjaga diri, mendidik dan mendoakan untuk itu. Lafadz ini berasal dari kata chaafazho yuchaafizhu yang mengandung arti menyimpan, memelihara, melindungi, menjaga, mengasuh, menyelamatkan, mengamankan, mengamati, mematuhi, menghormati, meneruskan.
Misalnya: jika tidak ada laki-laki lain tidak mengeraskan suara, tidak menampakkan diri, tidak menyebabkan laki-laki mencium bau wanginya, tidak sms, telfonan, bicara dan sebagainya. Memelihara kehormatan dirinya dan suaminya dengan tidak membuka aib dirinya suami dan keluarganya; melindungi, menjaga dan mengasuh harta suaminya termasuk yaitu anaknya; menyelamatkan keluarga, agama dan negaranya dengan mendidik anak-anaknya, sebagaimana hadist Nabi, “….. seorang wanita adalah pemimpin bagi anggota keluarga suaminya serta anak-anaknya dan ia akan ditanya tentang mereka”. (HR. Bukhori dan Muslim). Oleh karena itu, istri tidak hanya wajib menjaga diri, namun juga menjaga suami dan anaknya dari api neraka.
Wanita wajib menjaga diri dari; (1). laki-laki bukan muhrim, sebagaimana hadist Nabi,Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja wanita yang memakai wangi-wangian kemudian melewati suatu kaum supaya mereka itu mencium baunya, maka wanita itu telah dianggap melakukan zina dan tiap-tiap mata ada zina.” (HR. Nasaii ibn Khuzaimah dan Hibban). Dikiyaskan dengan memakai farfum yaitu memakai pakaian bagus, berdandan jahat atau berlebihan. Sebagaimana larangan Allah, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu …” (QS. Al-Ahzaab, 33: 33).
(2). Menjaga diri dari tidak menzholimi diri sendiri. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah mengatakan, “Allah melaknat tukang tato, orang yang ditato, al-mutanamishah, dan orang yang merenggangkan gigi, untuk kecantikan, yang mengubah ciptaan Allah. (HR. Bukhari & Muslim). Al-Mutanamishah adalah para wanita yang minta dicukur di wajahnya. Sedangkan wanita yang menjadi tukang cukurnya namanya An-Namishah. (Syarh Muslim An-Nawawi, 14/106).
(3). Menjaga diri dari perkataan dan perbuatan yang tidak manfaat. “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau lebih baik diam (jika tidak mampu berkata baik)” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Rasulullah SAW juga bersabda, “Orang muslim yang baik adalah yang muslim lainnya aman dari ganguan ucapannya dan bantu dan orang yang hijrah (tergolong kelompok Muhajirin) adalah yang meninggalkan apa apa. yang dilarang Allah”. Termasuk yaitu menjaga diri perbuatan mendekati zina, seperti memandang lawan jenis, sms an, telfonan dan sebagainya.
(4). Menjaga aurat, sebagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Wahai anakku fatimah! Adapun perempuan-perempuan yang akan digantung rambutnya hingga mendidih otaknya dalam neraka adalah mereka itu di dunia tidak mau menutup rambutnya daripada dilihat laki-laki yang bukan mahramnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dan juga menjaga dari sesama jenis, “Tidak boleh seorang pria melihat aurat pria lainnya, dan tidak boleh seorang wanita melihat aurat wanita lainnya” (HR. Muslim).
(5). Menjaga diri di dalam rumah, tidak banyak keluar-keluar. Firman Allah pernyataan tersebut dalam QS. Al Ahzab: 33 yang berbunyi, “Dan tinggallah kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berdandan dandan ala jahiliah terdahulu.”. Rosullulloh juga bersabda, “Shalat seorang wanita di rumahnya lebih utama baginya daripada shalatnya di pintu-pintu rumahnya, dan shalat seorang wanita di ruang kecil khusus untuknya lebih utama baginya daripada di bagian lain di rumahnya” (HR. Abu Dawud). Adapun balasannya yaitu sebagaimana Rasulullah bersabda : “ Barangsiapa di antara kalian yang tinggal di rumahnya maka dia mendapatkan pahala mujahid di jalan Allah.”
(6) Menjaga diri dari meminta cerai atau banyak menuntut. Rosululloh bersabda, “para istri yang minta cerai (pada suaminya)(tanpa ada alasan syar`i) adalah wanita-wanita munafik” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud). Rasulullah SAW juga pernah bersabda, “Seorang istri yang mudah meminta cerai suaminya hanya karena permasalahan sepele, maka dia tidak akan mencium baunya surga” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Adapun “sebaik baik wanita di antara kalian adalah yang sangat cinta (kepada suami); subur (banyak anak); suka mengalah dan suka membantu, jika mereka bertaqwa kepada Allah. Sejelek-jelek wanitadi antara kalian adalah yang suka bersolek (berdandan) dan sombong. Merekalah wanita-wanita munafik”. (HR. Al Bayhaqi). Oleh karena itu, wanita sholichah yaitu wanita yang mencintai suaminya dan menerimanya meskipun jelek perangainya, tetapi haram mengidola atau menjadikan teman dekat, percaya dan sebagainya kepada wanita-wanita munafik. Diqiyaskan dengan berdandan yaitu memperlihatkan perhiasannya.
(7). Menjaga harta dan keluarga suami, Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik wanita penunggang unta, adalah wanita yang baik dari kalangan quraisy yang penuh kasih sayang terhadap anaknya dan sangat menjaga apa yang dimiliki oleh suami.” (Muttafaqun ‘alaihi). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Dan wanita adalah penanggungjawab di rumah suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban.” (HR Bukhari Muslim)
Wajib memahami kebenaran dari Allah bahwa amal sholeh yang paling baik adlaah taat dan menajga diri. Jika ada amal apapun yang menyebabkan tidak taat dan menjaga diri maka bukan amal yang paling baik bagi wanita. Meskipun seperti Siti Aisyah melawa Sayyidina Ali atau meskipun dilakukan garwonya Nabi atau Ulama` tetap amal sholeh yang palig baik adalah taat dan menjaga diri.
Lilghoybi {dengan ghoib}: wanita wajib menjaga diri terutama pada waktu ghoibnya (tidak adanya suami) dengan keyakinan bahwa dilihat oleh Allah yang Maha Ghoib.
Wanita menjaga diri di waktu tidak adanya suami pahalanya lebih besar daripada waktu adanya suami, karena derajat wajibnya lebih tinggi dari pada kewajiban menjaga diri ketika adanya suami, akan tetapi pada umumnya dengan adanya suami otomatis istri terjaga, diumpamakan bunga terjaga oleh kumbang.
Rosululloh SAW bersabda, “tidak boleh bagi perempuan yang bersuami untuk membelanjakan harta pribadinya (tanpa seizin suami)”. (HR. Abu Daud). “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada siapapun yang memiliki hak, maka tidak ada wasiat bagi pewaris. Dan tiak boleh seorang wanita menginfakkan sesuatu dari rumahnya kecuali dengan seizin suaminya”. (HR. Abu Daud). Istri tidak boleh memberikan makan terhadap orang lain dari rumah suami tanpa seizin suami, kecuali makanan basah yang dikhawatirkan mubadzir atau rusak. Jika dia memberikan makanan atas keridhoan suami, maka dia kan memperoleh pahala seperti pahala suaminya. Dan jika dia memberikan makanan tanpa seizin suami, maka suami yang mendapatkan pahala sedangkan istri berdosa. Hadist ini menegaskan keutamaan wanita menjaga diri ketika tidak ada suami, misal; tidak memberi makan seizin suami, berhias, menampilkan perhiasan atau kecantikan, membuka aurat dan sebagainya.
Bimaa chafizholloh {dengan apa yang menjaga oleh Allah}: wajib memperhatikan perbedaan aturan Allah antara perempuan dan laki-laki. Jika laki-laki, sebab (dengan apa yang) Allah melebihkan (pada) mereka (laki-laki), sedangkan perempuan sebab (dengan apa yang) Allah menjaga (pada) perempuan. Sehingga wanita diwajibkan menjaga diri, karena sudah dicipta atau ditentukan oleh Allah berpotensi demikian, misalnya diberi rasa takut, malu, fisiknya lemah, dan sebagainya yang mana itu merupakan bentuk penjagaan dari Allah. Maksud Allah menjaga juga adalah Allah telah menolong wanita-wanita dan berpesan melarang wanita agar tidak berselisih atau iri pada laki-laki.
Wanita atau laki-laki wajib beramal sholeh sesuai yang dicipta oleh Allah, misalnya; wanita amal sholeh dengan sikap lemah lembutnya untuk mendidik; dengan sikap malunya untuk menjaga diri, dengan rasa takutnya untuk bersikap hati-hati dalam menjaga kehormatan diri dan keluarganya. Sedangkan laki-laki beramal sholeh dengan membina wanita, bekerja, memberi nafkah, dan sebagainya.
Haram bagi wanita berselisih atau iri dengan kelebihannya laki-laki yang Allah berikan, sebab kelemahan yang Allah jadikan bagi wanita adalah sebagai bentuk penjagaanNya. Haram juga bagi laki-laki menindas wanita karena kelebihan yang ia miliki atau karena kekurangannya wanita, melainkan untuk menjaganya. Sebagaimana pesan Nabi, “Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR Tirmidzi).Rasulullah SAW bersabda, “Sampaikanlah pesan kebaikan kepada kaum wnaita karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika kalian ingin meluruskannya, maka kalian mematahkannya, jika kalian biarkan saja, niscaya ia akan tetap bengkok.” (Muttafaq ‘Alaih).
Wa llatii takhoofuuna nusyuuzahunna {dan wanita-wanita yang kalian khawatirkan kedurhakaannya}: nusyus adalah durhaka. Suami wajib menghadapi istri nusyus sesuai dengan aturan Allah. Suami wajib khawatir urusan akhiratnya istri, karena suami bertanggung jawab sebagai pemimpin bagi istri, jangan sampai istri termasuk orang yang durhaka. Sebagaimana hadist Nabi, “Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggung jawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang Suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. ……..”. (HR. Bukhori dan Muslim)
Suami wajib menghadapi istri nusyuz sesuai dengan aturan Allah, tidak membuat aturan sendiri, yaitu dengan memberikan maidhoh, pisah ranjang dan dipukul. Allah membuat aturan berbeda antara suami menghadapi istri nusyuz dengan istri menghadapi suami nusyuz. Jika suami yang nusyuz maka istri tidak boleh menghadapi suami dengan tiga tahap tersebut, tetapi dengan melepaskan sebagian hak atau banyak minta maaf pada suami. Sebagaimana di terangkan dalam QS. An Nisa: 128, “dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusuyz atau bersikap tidak acuh, maka tiada dosa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian. Dan perdamain itu lebih baik bagi mereka. …..”. istri wajib mengajak atau atau lebih dulu membuat perdamaian dengan cara meminta maaf.
Aturan menghadapi istri nusyuz ini bisa diqiyaskan pada beberapa hal lain, contoh antara guru dan murid, dan orang tua dengan anak, yaitu jika melakukan kesalahan maka, (1). Ditegur atau diingatkan dan atau dinasihati, (2). Dibiarkan atau tidak diberikan haknya, (3). Dipukul atau di hukum agar jera.
Fa`izhuuhunna {maka nasihatilah (pada) mereka}: suami wajib memberi maidhoh (nasihat) keimanan (tentang Allah dan akhirat) dan pelaksanaannya. Wanita yang dikhawatirkan nusyuznya diberi mauidhoh sebagai tahap pertama. Memberi mauidhoh kepada istri adalah tidak ada batasnya atau minimal tiga hari sekali, karena pada dasarnya kewajiban suami adalah membina istri. Kewajiban ini juga di perintahkan Nabi dalam sabdanya, “Hendaklah kalian saling menasihati kepada para wanita (istri) dengan kebaikan, karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok ialah yang paling atas. Apabila engkau memaksa untuk meluruskannya, maka ia akan patah, dan jika engkau biarkan apa adanya, ia akan tetap bengkok. Karena itu hendaklah kalian saling menasihati kepada para wanita (istri) dengan kebaikan.” (HR. Bukhari)
Istri meskipun nusyuz wajib diam dan mendengarkan nasihat dari suami sebagai suatu kewajiban. Perintah memberi mauidhoh adalah pada suami bukan pada istri dan istri sellau diam, mendengarkan, serta mentaati. Diqiyaskan dengan ini, berarti haram wanita tidak mendengarkan nasihat suami, cemberut atau minta cerai. Rosululloh bersabda, “wanita yang minta suaminya untuk mentalaqnya tanpa ada alasan yang diperkenankan, maka haram baginya mencium bau syurga”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Wahjuruuhunna fil madhooji`i {dan pisahkanlah (pada) mereka}: jika tahap pertama atau diberi nasihat tidak mempan maka tahap kedua yaitu pisah ranjang. Wajib bersyukur untuk kebaikan aturan Allah tentang pisah ranjang. Kebaikan ini untuk suami dan istri agar tidak marah.
Wadlribuuhunna {dan pukullah (pada) mereka}: jika diberi tahap kedua tidak mempan, maka tahap ketiga yaitu dipukul dengan syarat tidak mengenai kepala, dan tidak menyebabkan cacat atau membekas permanen. Sebagaimana hadist Nabi, “pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai”. (HR. Muslim)
Wajib mengukuti ajaran islam dalam hal suami memukul istri, bukan sebagai tujuan tetapi justru ajaran Islam dalam hal mendidik. Islam juga melarang suami memukul istri dengan membabi buta atau dalam keadaan marah. Diqiyaskan dengan suami diperintah memukul istri, maka kita jalani perintah Allah untuk mencar taktik atau setrategi dalam mendidik atau ber amar ma`ruf nahi munkar, misalnya: mendidik dengan dibentak, dihalusin, dan sebagainya.
Wajib berusaha tegas dalam membimbing istri dan keluarga, tidak dengan cara lembek. Wajib memulyakan laki-laki yang tegas bahkan tidak boleh menghinakannya. Suami wajib membina istri dengan sungguh-sungguh dan harus berusaha keras menyayangi istri dalam hal urusan akhirat.
Allah sangat membenci perceraian, tetapi Allah dan Rasulnya sangat tegas dalam hal urusan akhirat. Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki yang datang menghadap Rasulullah lalu berkata, “Ya Rasulullah, saya memiliki wanita yang tidak menolak tangan orang yang menyentuh.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Ceraikan dia” (HR. An Nasa’i).
Fain atho`nakum falaa tabghuu `alayhinna sabiilaa {maka jika mereka mentaati (pada) kalian, maka janganlah mencari-cari (oleh) kalian atas mereka jalan (untuk menyusahkan mereka}: apabila istri sudah taat atau tidak nusyuz dengan tindakan tahap sebelumnya, maka suami menghindari tindakan tahap selanjutnya, misal: sudah taat dengan hanya nasihat, mak atidak perlu pisah ranjang. Pada ketaatan istri, suami mengarahkan strategi atau tujuan pendidikan.
Istri wajib berusaha taat tanpa menunggu tahap berikutnya sehingga menjadi wanita sholichah tingkat tinggi atau tingkat istimewa dengan cara selalu mendengar nasihat, sebab taat hanya dibalik nasihat atau mendengarkan.
Diqiyaskan dengan istri sholichah yang selalu mendengarkan, yaitu murid yang baik adalah yang mau mendengarkan. Wajib menggunakan cara yang efektif untuk mencapai tujuan bukan menggunakna cara tiu sebagai tujuan dengan kata lain tidak menyembah syariat tepai menggunakan syariat untuk menyembah Allah.
Innallooha kaan `aliyya kabiiroo {sungguh Allah itu, adalah sangat tinggi sangat besar}: Suami Wajib Ingat meskipun ia adalah seorang pemimpin bagi perempuan tetapi tetap Allah lebih dan sangat berkuasa karna Allah sangat Tinggi dan sangat Maha Besar. Begitupun Istri, wajib ingat bahwa Allah Maha Besar, haram menyembah suami tetapi wajib memulyakan suami dalam rangka mengagungkan Allah.
Wajib belajar hukum Allah agar selalu ingat dan mengagungkan Allah yang sangat Tinggi dan sangat Maha Besar. Wajib taat hukum Allah sebagai bukti keyakinan bahwa Allah Maha Tinggi dan Maha Besar. Serta wajib belajar hukum Allah dari al Qur`an sebab lengkap dengan urusan keimanan dan ketauhidan.