Maha Kuasa Allah atas segala sesuatu termasuk dalam hal menentukan aturan tentang wanita-wanita yang haram dinikah, yang mana hal ini wajib kita yakini sebagai bentuk Kasih Sayang duniawiNya yang pasti juga mengandung hikmah yang istimewa dibalik ketentuanNya. Mengenai hukum tentang siapa-siapa saja wanita yang haram dinikah atau disebut juga dengan Mahrom. Mahram (Arab: محرم) adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya karena sebab keturunan, persusuan dan pernikahan dalam syariat Islam. Allah menyebutkannya dalam QS. An Nisa 22-24, sebagai berikut:

Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang dicapai).

Wa laa tankichuu maa nakacha aabaa`ukum mina an-nisaa`i {dan janganlah kalian menikahi apa yang dinikahi bapak-bapak kalian dari perempuan-perempuan}: Haram menikahi istrinya bapak (jandanya bapak). Tetapi jika yang dinikahi bapak belum pernah dikumpuli (baru omongan atau akad saja) maka sah dan boleh untuk dinikahi anaknya sebab penikahan tersebut belum sempurna dan tidak ada masa iddah bagi istri bapak tersebut, tetapi untuk menghormati al Qur`an lebih baik tidak. Dari Al Barra`, ia berkata: “Saya berjumpa dengan pamanku, dan ia membawa bendera. Kemudian saya katakan:” Engkau hendak pergi kemana? Ia berkata: Rasulullah SAW mengutusku kepada seorang laki-laki yang menikahi istri ayahnya setelah kematiannya, agar saya penggal lehernya, atau saya membunuhnya. (HR. An-Nasai)

Illaa maa qod salaf {kecuali apa yang telah lampau}: Misalnya setelah nikah punya anak, ternyata istrinya adalah ibunya, maka ini batalnya sejak awal, berarti anak yang dilahirkan tadi tidak punya hubungan hukum dengan ayah, hanya punya hubungan hukum dengan ibunya. Karena sebelumnya ibunya adalah neneknya.

Innahuu kaana faachisyatan wa maqtan wa saa`a sabiilaan {sungguh itu, adalah perbuatan keji dan dibenci dan seburuk-buruk jalan}:  wajib menghindari sejauh-jauhnya apa yang dilarang oleh Allah, dan kita hinakan apa yang dilarang oleh Allah. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apa saja yang aku larang terhadap kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya apa yang membinasakan umat sebelum kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-nabi mereka ‘” (HR. al-Bukhâri dan Muslim).

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Churrimat ‘alaikum ummahaatukum wabanaatukum wa akhowaatukum wa’ammaatukum wa khoolaatukum wa banaatul akhi wabanaatul ukhti wa ummahaatukumullaatii ar dho’nakum wa akhowaatukum minar rodhoo’ah wa ummahaatu nisaaa`ikum wa robaa`ibukumullaatii fii chujuurikum min nisaa`ikumullatii dakholtum bihinnna, fain lam takuunuu dakholtum bihinna falaa junaacha ‘alaikum, wa chalaa`ilu abnaa`ikumu alladziina min ashlaabikum wa an tajma’uu baynal ukhtayni illaa maa qod salaf {Di haramkan atas kalian ibu-ibu kalian dan anak-anak perempuan kalian, saudara-saudara perempuan kalian dan saudara saudara perempuan ayah kalian dan saudara-saudara perempuan ibu kalian dan anak-anak perempuan dari saudara laki-laki kalian dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan kalian dan ibu-ibu kalian yang menyusui kalian dan saudara-saudara perempuan kalian dari sesusuan, dan ibu-ibu kalian dari istri-istri kalian dan anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari wanita-wanita kalian yang telah kalian campuri dengan mereka, maka jika tidak kalian campuri dengan mereka maka tiada dosa atas kalian dan istri-istri dari anak-anak kalian yang dari tulang rusuk kalian, dan (diharamkan juga) kalian menghimpun diantara dua perempuan bersaudara kecuali apa yang sungguh telah lalu}: haram menikahi Ibu (dikiaskan adalah nenek), dari Ibnu ‘Abbas, “Tujuh (golongan yang) dihalalkan untuk dinikahi karena alasan nasab, dan tujuh (golongan) karena alasan mushaharah (semenda/ ikatan perkawinan).” Kemudian dia membaca, حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu…” (HR. Bukhori)

Alasan nasab yaitu 1). Ibu (istrinya ayah), 2). anak perempuan (cucu), 3). saudara (seayah, seibu), 4). saudara perempuan ayah (bibik, 5). saudara perempuan ibu (bude, bulek dari pihak ibu), 6). anak perempuan saudara laki-laki, 7). anak perempuannya saudara perempuan.

Alasan adanya ikatan perkawinan yaitu; 1). ibu sepersusuan, 2). saudara perempuan sepersusuan, 3).  mertua (nenek ke atas), 4). anak tiri yang ibunya sudah kumpul, anak tiri yang ibunya tidak pernah kumpul maka tidak apa-apa, 5). menantu (istrinya anak laki-laki, bukan anak tiri), 6). menikahi dua saudara perempuan, 7). Menghimpun wanita dan bibinya.

Dari Ummu Habibah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan: “Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau menginginkan puteri Abu Sufyan?’ (Dalam sebuah riwayat: ‘Nikahilah saudara perempuanku, puteri Abu Sufyan’). Beliau menjawab: ‘Aku akan berbuat apa?’ Aku mengatakan: ‘Engkau menikahinya.’ Beliau bertanya: ‘Apakah engkau suka?’ Aku menjawab: ‘Aku tidak cemburu kepadamu, dan wanita yang paling aku sukai menyertaiku bersamamu ialah saudara perempuanku.’ Beliau bersabda: ‘Ia tidak halal untukku.’ Aku mengatakan: ‘Aku mendapat kabar bahwa engkau tengah meminang.’ Beliau bertanya: ‘Puteri Ummu Salamah maksudnya?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Beliau mengatakan: ‘Seandainya dia bukan anak tiriku, dia tetap tidak halal untukku; aku dan ayahnya sama-sama disusui oleh Tsuwaibah. Oleh karena itu, jangan menawarkan puteri-puteri kalian dan saudara-saudara perempuan kalian kepadaku.’” (HR. Bukhori & Muslim)

Dari Ibnu ‘Abbas, ia mengatakan: “Ditanyakan kepada Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam: ‘Mengapa engkau tidak menikahi puteri Hamzah?’ Beliau menjawab: ‘Ia adalah puteri saudaraku sepersusuan.‘” (HR. Bukhori & Muslim)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah seorang wanita dihimpun (dalam perkawinan) dengan ‘ammah atau khalahnya.” (HR An Nasa`I dan Abu Dawud). Amah yaitu bibi dari pihak ayahnya, dan khallah yaitu bibi dari pihak ibunya.

Syarat haramnya nikah sepersusuan yaitu lima kali susuan. dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma: “Di antara ayat al-Qur-an yang diturunkan ialah tentang sepuluh susuan yang telah dikenal. Kemudian dihapuskan dengan lima susuan yang telah dikenal. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa sallam wafat, dan itulah yang dibaca.” (HR. Muslim) Sedangkan dalam riwayat ‘Abdurrazzaq dengan sanad yang shahih dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan: “Tidak menyebabkan haram kurang dari lima susuan yang dikenal.” Imam Asy-Syafi’i berpendapat demikian. Ini pun termasuk riwayat Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm. Al-Baihaqi meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit dengan sanad yang shahih bahwa dia mengatakan: “Tidak menyebabkan haram sekali susuan dan tiga kali susuan.” Hadits yang terkuat di antara hadits-hadits tentang masalah ini ialah hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang lima kali susuan. Adapun (maksud) hadits: Tidak menyebabkan haram sekali susuan dan dua kali susuan,” maka mungkin sekedar misal dari penyusuan yang kurang dari lima kali. Jika tidak demikian, maka pengharaman dengan tiga kali susuan dan seterusnya hanyalah diambil dari mafhum (konteks) hadits. Tetapi ini ditentang oleh mafhum hadits lain yang diriwayatkan oleh Muslim, yaitu lima kali susuan.

Bagaimana dengan paman sepersusuan?. ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, isteri Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam, mengabarkan kepada ‘Umrah binti ‘Abdurrahman bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa sallam berada di sisinya dan dia mendengar suara seorang pria yang meminta izin di rumah Hafshah. Ia mengatakan: “Aku mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, ada orang yang meminta izin di rumahmu.’ Beliau mengatakan: ‘Aku melihatnya si fulan.’ Ternyata paman Hafshah dari sepersusuan.” ‘Aisyah bertanya: “Seandainya si fulan masih hidup -paman ‘Aisyah dari sepersusuan- apakah dia boleh menjengukku?” Beliau menjawab: “Ya, sepersusuan diharamkan sebagaimana seperanakan.” (HR. Muslim)

Wajib hati-hati dalam menyusui dan mengetahui persaudaraan sepersusuan sebab hal ini dapat mempengaruhi hukum dalam pernikahan. dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam menemuinya, sedang di sisinya ada seorang pria, maka sepertinya wajah beliau berubah (seperti) tidak menyukai hal itu. ‘Aisyah berkata, “Ia saudaraku.” Beliau bersabda: “Perhatikanlah saudara-saudara kalian. Sebab penyusuan itu hanyalah (yang diberikan sebagai penyelamatan dari) kelaparan.” (HR. bukhori & Muslim)

Inna Allooha kaana ghofuuron rochiimaa {Sesungguhnya Allah Dia Sangat Pengampun sangat sayang}: wajib berusaha banyak mohon ampun pada Allah dalam menjalankan syariatNya dan wajib yakin bahwa Allah sangat penyayang urusan ukhrowi dengan cara banyak ingat Maha Bijaksannya Allah dalam membuat hukum dan kita banyak mohon bimbingan agar difahamkan dan diudahkan dalam menjalankan syariat.

dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Wa-lmuchshonaatu mina an-nisaa`i illaa maa malakat aymaanukum {dan wanita bersuami dari perempuan-perempuan kecuali hamba sahaya perempuan yang kalian miliki}: haram menikahi wanita yang bersuami. Walaupun secara lahir menikah, tapi secara batin zina, maka tidak boleh. Imam Syafii mengatakan: “Wanita-wanita yang bersuami baik wanita merdeka atau budak diharamkan atas selain suami-suami mereka, hingga suami-suami mereka berpisah dengan mereka karena kematian, cerai, atau fasakh nikah, kecuali as-sabaayaa (yaitu budak-budak perempuan yang dimiliki karena perang, yang suaminya tidak ikut tertawan bersamanya)”.

Nabi SAW telah bersabda: “Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka [pernikahan yang sah] wanita itu adalah bagi [wali] yang pertama dari keduanya.” (HR Ahmad, dan dinilai hasan oleh Tirmidzi)

Dikiyaskan dengan haramnya menikahi wanita bersuami yaitu wanita yang belum selesai masa iddahnya. Allah berfirman “Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya.” (QS. Al Baqarah: 235). Dan haram juga menikahi wanita yang sudah ditalak tiga sebagaimana firman Allah, “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (QS. Al Baqoroh: 230) yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bab talaq.

Kitaaba Allaahi ‘alaikum {(sebagai) ketetapan(nya) Allah atas kalian}: wajib mengagungkan hukum-hukum atau ketetapannya Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bukankah Allah adalah sebaik-baik pemberi ketetapan hukum?” (QS. At-Tiin: 8). Dan wajib yakin bahwa Allah sangatlah adil dalam membuat hukum. Sebagaimana Allah peringatkan dalam QS al Maidah yang artinya, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada [hukum] Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Al-Ma’idah: 50)

Wa uchilla lakum maa waroo`a dzaalikum an tabtaghuu bi amwaalikum muchshiniina ghoiro musaafichiina {dan dihalalkan bagi kalian apa yang dibelakang (selain) itu, jika kalian mencari dengan harta-harta kalian (sebagai) orang yang membikin baik (ingin menikah) bukan orang yang ingin zina}: Berhubungan dengan nikah, juga berhubungan dengan harta. Hal ini sebagaimana juga disebutkan dalam ayat lain yang artinya, “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32). Dan Nabi bersabda, “Carilah rezeki dengan menikah.” (HR. Ad-Dailami dari sahabat Ibnu ‘Abbas ra)

Pernikahan bukan diniati perzinaan tetapi untuk menjaga kesucian dan demi menyempurnakan ibadah. “Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al-Baihaqi).

Harom mencari riski untuk berzina atau melampiaskan syahwat sebagaimana hadist Abu Dzar, Nabi SAW bersabda, “Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala.’” (HR. Muslim). Dan siapa yang menggunakan hartanya untuk menjaga kesuciannya dengan menikah maka pasti Allah akan menolong. Sebagaimana sabda Nabi SAW Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Di antaranya, “… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An Nasai dan At Tirmidzi).

Fama-stamta’tum bihii minhunna fa aatuuhunna ujurohunna fariidloh {maka apa yang telah kalian upaya menikmati dengannya dari mereka maka berikanlah pada mereka maskawin mereka (sebagai) kewajiban}:  Menikah wajib ada mahar atau maskawin. Dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi ra, Rasullullah bersabda: “Carilah sesuatu (mahar) cincin sekalipun terbuat dari besi. Jika tidak mendapati, mahar berupa surat-surat al-Qur’an yang engkau hafal.” (HR Bukhari) dan yang menentukan mahar adalah wanita. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada bab selanjutnya.

Wa laa junaacha ‘alaikum fiimaa taroo-dloytum bihii min ba’di lfariidlotan {dan tiada dosa atas kalian dalam apa yang kalian saling ridho dengannya dari setelah menetapkan}:  Apabila pihak perempuan setelah akad mengembalikan maharnya maka tidak apa-apa, walaupun maharnya masih hutang tidak apa-apa, asal sudah ditentukan.

Inna Allaaha kaana ‘aliiman {Sungguh Allah (itu) adalah Dzat yang sangat mengetahui}: wajib melaksanakan hukum Allah tanpa menawar karena Alah sudah Maha Mengetahui. Sebagaimana disinggung Allah dalam firmannya, “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kalian dari azab yang pedih? (yaitu) kalian beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian. Itulah yang lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui”. (Ash-Shaf 10-11)

Chakiiman {Dzat yang sangat bijaksana}: Kita ingat Maha Bijaksananya Allah dalam menentukan hukum. Allah berfirman, “Dan Dia-lah Allah Yang Hakîm (Maha Bijaksana) lagi Khobîr (Maha Mengetahui)”. (QS. Saba`:1). “Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Mumtahanah: 10) “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Isra’: 85)

Tafsir Qs. Al Ahzab: 50

Hai Nabi, sebenarnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu tingkat termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. 
Sesungguhnya Kami telah melihat apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki tidak menjadi kesempitan bagimu.

Yaa ayyuhannabiyyu innaa achlalnaa laka azwaajaka-llatii aataita ujuurohunna wamaa malakat yamiinuka mimmaaa afaaa`a Alloohu ‘alaika wa banaati ‘ammika wabanaati ‘ammaaatika wabnaati khoolika wabnaati khoolaatika allatii haajarna ma’aka, wa`amro`atan mu`minatan in wahabat nafsahaa linnabiyyi in arooda annabiyyiu an yastankachahaa khoolishotan laka min duuni almu`miniina. Qod ‘alimnaa maa farodhnaa ‘alaihim fii ajwaajihim wamaa malakat aymaanuhum likaylaa yakuuna ‘alaika charojun. Wakaana Alloohu ghofuuron rochiiman {Wahai Nabi sungguh Kami, Kami telah menghalalkan bagi kamu istri-istri kamu yang telah engkau berikan maskawin mereka hamba sahaya yang kamu miliki (tawanan) dari apa yang diberi (oleh) Allah atasmu dan anak-anak perempuan (dari) saudara laki-laki bapakmu dan anak-anak perempuan (dari) saudara perempuan bapakmu dan anak-anak perempuan (dari) saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan (dari) saudara perempuan ibumu yang hijrah bersamamu. Dan perempuan beriman jika ia menyerahkan dirinya (untuk dinikahi) kepada Nabi jika menghendaki (oleh) Nabi bahwa dia akan menikahinya (sebagai) pengkhususan bagi kamu (Rosulullah) bukan untuk orang-orang mukmin. Sungguh Kami telah mengetahuiapa yang Kami fardhukan atas mereka terhadap istri-istri mereka hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi atasmu kesempitan. Dan Allah Sangat Pengampun sangat sayang}: Halal menikahi sepupu yaitu anak perempuan saudara laki-lakinya bapak dan anak perempuan saudara perempuannya bapak (sepupu dari bapak), anak perempuan saudara laki-lakinya ibu dan anak perempuan saudara perempuannya ibu (sepupu dari ibu).

Nabi SAW boleh nikah tanpa mahar atau wanita menyerahkan dirinya tanpa mahar kepada Nabi. Tetapi haram bagi umat Nabi atau selain Nabi Muhammad SAW menikah tanpa memberikan mahar. Begitupun wanita haram menyerahkan diri untuk dinikahi laki-laki tanpa meminta mahar.

Tafsir Ahkam 6C (Nikah)
Bimbingan Wa.me/6285731391848

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *