Maha BijaksanaNya Allah yang menetepkan masa haid bagi wanita sebagai tanda bentuk kasih sayangnya dan juga sebagai tanda Maha KuasaNya. Yang mana ketentuan itu menjadi suatu yang sangat penting bagi wanita untuk di fahami baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan sebab hal ini menyangkut berbagai aspek dalam ibadah, tidak hanya menyangkut masalah batal-sahnya sholat dan puasa, namun juga menyangkut tentang halah-haramnya wanita dinikahi setelah ia dikumpuli atau sebagai penentu massa iddahnya istri. Oleh karena itu, kami akan membahas tentang haid sebagai berikut.
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu dikembangkanlah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mengakhiri mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, makailahilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah suka orang yang bertaubat dan suka orang yang mensucikan diri.”
Wayas’aluunaka `anil machiidh {dan mereka bertanya padamu tentang haid}: wajib bertnya jika belum mengerti tentang hukum haid mapun hukum Islam yang lainnya. Hal ini sebagaimana Allah perintahkan dalam QS. An Nahl: 43, yang artinya “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”.
Haram malu bertanya tentang hukum Allah karena menyebaban kesesatan. Oleh karena itu, wajib belajar hukum Islam ada Ahlinya. Misalnya: Ulama, Kyai, ustadz, ustadzah dan sebagainya. Tetapi hindari banyak bertanya jika sudah ditetapkan hukum dan ketentuannya, sebagaimana peringatan dari Nabi, “Apa saja yang aku larang terhadap kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya apa yang membinasakan umat sebelum kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-nabi mereka” (HR. Bukhâri dan Muslim).
Qul huwa adzaa {katakanlah ia itu penyakit (kotoran)}: wajib berdakwah atau mengajarkan masalah haid. Diqiyaskan dengan Nabi, yaitu Ulama, Kyai, ustadz, suami, dan sebagainya.
Haid adalah darah kotoran yang keluar dari rahim perempuan yang sudah baligh (dewasa). Batas darah haid paling lama adalah 15 hari dan paling sedikit adalah sehari semalam. Jika lebih dari 15 hari maka dinamakan darah istichadhoh.
Darah istichadoh adalah darah penyakit bukan darah kotor. Darah istichadoh ada dua yaitu darah yang keluar lebih dari 15 hari, dan yang kedua yaitu darah yang keluar dari farjinya wanita dan waktunya tidak mencapai sehari semalam, atau keluarnya beberapa hari (tidak lebih dari 15 hari) dengan terputus-putus, tetapi apabila dikumpulkan jam-jam keluarnya tidak mencapai waktu 24 jam.
Dari Aisyah ra, bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy bertanya kepada Nabi SAW, ia mengatakan “sesungguhnya aku selalu mengeluarkandarah (istihadhoh) sehingga aku tidak pernah suci (dari darah), maka apakah aku harus meninggalkan sholat?” Beliau menjawab, “Tidak, sesungguhnya itu adalah darah yang keluar dari bawah Rahim. Tinggalkanlah sholat pada sejumlah hari yang engkau biasa haid padanya, lalu mandilah dan kerjakan sholat”. Dalam riwayat lain, “itu bukanlah darah haid, jika tiba masa haid, maka tinggalkanlah sholat padanya, jika telah berlalu waktunya maka bersihkanlah darah darimu (mandilah) dan kerjakanlah sholat” (HR. Bukhori dan Muslim).
Sedangkan dari riwayat Ahmad, Dari Aisyah ra. dia berkata: Fatimah binti Abi Hubaisy “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mengalami istihadhah banyak sekali. Bagaimana menurutmu? Aku telah terhalang dengan sebab itu dari menuaikan salat dan puasa”. Dia berkata: “Aku akan tunjukkan padamu untuk mengetahuinya. Gunakan kapas untuk menutup kemaluanmu karena di akan menutup aliran darahmu” dia berkata: “darah tersebut terlalu deras”. Kemudian di hadist tersebut Nabi bersabda: “sesungguhnya darah tersebut tendangan-tendangan syaitan, maka massa haidmu enam atau tujuh hari berdasarkan ilmu Allah Ta’ala. Kemudian mandilah jika engkau melihat dirimu sudah bersih (dari haidmu) dan berpuasalah” (HR.Ahmad, Abu Dawud, dan At Tirmidzi)
Diqiyaskan dengan haid adalah nifas yaitu darah yang keluar setelah melahirkan. Batas darah nifas adalah 60 hari, jika lebih dari itu berarti darah istichadoh, sedangkan minimalnya yaitu setetes.
Haram hukumnya orang haid mendekati sholat, baik perbuatan sholat maupun tempat sholat, kecuali istihadhoh, tetap hukumnya wajib. Larangan mendekati tempat sholat, ditegaskan Nabi dalam sabdanya tentang menghadiri sholat Ied, Beliau bersabda, “hendaklah para gadis muda dan wanita-wanita yang sedang haid keluar rumah untuk menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum mukmin. Dan hendaklah wanita-wanita yang haid itu menjauhi tempat sholat” (HR. Bukhori)
Nabi juga Bersabda, “bukankah wanita yang sedang haid dan nifas tidak boleh mengerjakan sholat dan berpuasa? Itulah kekurangan mereka dalam segi agama”. (HR. Bukhori dan Muslim). Selain sholat dan puasa wanita juga harom, berdiam diri di masjid sebagaimana Allah berfirman, “. . .jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati saja, sebelum kamu mandi (mandi junub)”. (QS. An Nisa: 43). Juga harom melakukan towab, Nabi Muhammad bersabda padanya, “Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji selain dari melakukan tawaf di Ka’bah hingga engkau suci kembali” (H.R. Bukhari dan Muslim). Kemudian juga harom bersetubuh atau hubungan suami istri sebagaimana dijelaskan lebih lanjut.
Fa`tazilun nisaa`a fil machiidh {jauhkanlah diri (oleh) kalian (pada) perempuan di dalam haid}: haram bagi laki-laki mengumpuli wanita pada saat haid. Pengertian dari lafadz menjauhi di sini bukan berarti tidak boleh bercengkrama, sebab nabi bersabda, “lakukanlah segala yang kau mau kecuali nikah (hubungan badan)”. (HR. Muslim).
Wajib bagi wanita lapor pada suami ketika sedang haid, agar suami mengetahui keadaan istri. Sebaliknya istri juga haram menolak ajakan suami, sebagaimana dijelaskan sebelumnya dalam bab wanita sholichah.
Walaa taqrobuuuhunna chatta yath-hurna {dan janganlah kalian mendekati mereka sehingga mereka suci}: keharaman suami mengumpuli istri ketika haid karena diqiyaskan dengan larangan orang junub yang mendekati sholat (Qs. An Nisa: 43). Pendapat Abu Hanifah mengatakan bercumbu itu diperbolehkan. Sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah Ra, “jika salah satu dari kami (istri Nabi) ada yang haid, dan Rosululloh ingin mencumbunya, beliau menyuruh istrinya yang haid itu untuk memakai kain sarung, kemudian beliau mencumbunya”. (HR. Bukhori). Sehingga boleh bercumbu dengan istri di anggota tubuh selain yang ada di antara pusar dan lutut istri atau jima` dalam arti yang sesungguhnya.
Kita tidak mengikuti pendapat yang tidak sesaui dengan al Qur`an. Wajib taat dan mengagungkan hukum Allah, karena hukum Allah kebaikannya untuk kita bukan untuk Allah dan yang lain.
Faidzaa tathohharna fa’tuuhunna min chaytsu amarakumullooh {maka apabila mereka telah suci maka datangilah mereka dari sebagaimana memerintahkan (pada) kalian (oleh) Allah}: ayat ini memerintahkan suami agar mendatangi istri jika mereka sudah bersuci. Oleh karena itu, haram bagi suami kumpul (hubungan istri) dengan istri jika belum suci dari haid. jika suami mengajak istri kumpul, maka istri wajib taat dan haram hukumnya jika menolak.
Innaa llooha wa yuchibbu al mutathohhiriina {sungguh Allah itu mencintai orang-orang yang bertaubat dan Dia mencintai orang-orang yang mensucikan diri}: wajib bersegera taubat kepada Allah, karena Allah Maha Pengampun. Karena ayat ini jatuhnya pada masalah haid, maka ketika wanita sedang haid wajib berusaha sering-sering bertaubat, mohon ampunan pada Allah.
Kebolehan berdzikir dan mohon ampun ketika haid ini sebagaimana diriwayatkan Ummu ‘Athiyyah yang menyatakan, “Kami diperintahkan agar keluar rumah pada hari raya, sehingga kami membawa anak-anak gadis bahkan wanita-wanita yang haid dan menempatkan mereka di belakang kaum muslimin (yang mengikuti salat Ied). Mereka ikut mengucapkan takbir dan berdoa seperti kaum muslimin serta mengaharpkan berkah dan kesucian hari raya tersebut” (HR Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
Wajib bersegera bersuci jika haid telah selesai, haram hukumnya menunda-nunda mandi suci karena sama dengan menunda sholat fardhu. Rasulullah SAW, diperlihatkan pada suatu kaum yang membenturkan kepala mereka pada batu, Setiap kali benturan itu menyebabkan kepala pecah, kemudian ia kembali kepada keadaan semula dan mereka tidak terus berhenti melakukannya. Lalu Rasulullah bertanya: “Siapakah ini wahai Jibril”? Jibril menjawab: “Mereka ini orang yang berat kepalanya untuk menunaikan Sholat fardhu”. (HR. Ath Tabrani)
Selain karena dapat menunda sholat yang hukumnya wajib juga karena Allah mencintai orang-orang yang suka bersuci. Diqiyaskan dengan suci dari haid yaitu suci dari segi lahir dan bathin, misalnya: pikiran, perkataan, pandangan, perbuatan, pakaian dan sebagainya.
Ciri berakhirnya darah haid yaitu diriwayatkan oleh Ummu al Qamah, pelayan sayyidati Aisyah, “beberapa wanita menjumpai Aisyah Ra dengan membawa sepotong kain yang di atasnya terdapat bekass cairan berwarna kekuning-kuningan. Mereka bertanya kepada aisyah ra apakah mereka telah dibolehkan untuk melaksanakan sholat atau belum. Maka Aisyah ra menjawab, “janganlah tergesa-gesa sampai kalian melihat keluarnya cairan berwarna putih. Karena cairan putih termasuk tanda berhentinya haid”. (HR Malik). Jika darah haid sudah berakhir dan tempat keluarnya sudah mongering dengan sempurna, maka janganlah dihiraukan jika ada cairan kuning atau lainnya yang keluar setelahnya, berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha- berkata: “Kami dahulu tidak menghiraukan flek kecoklatan dan kekuningan yang keluar setelah masa suci”. (HR. Abu Daud). Adapun warna darah haid yaitu sebagaimana disebutkan Nabi dari Fatimah binti Abu Hubaisy, bahwasanya ia mengalami istihadhah, lalu Nabi Saw bersabda, “Jika yang keluar itu darah haid, maka darah itu kehitam-hitaman seperti yang sudah biasa dikenali, jika demikian maka janganlah engkau melakukan shalat. Namun jika yang keluar itu adalah darah yang lain, maka berwudhulah dan shalatlah, karena itu adalah darah penyakit”. (HR Abu Daud dan Nasai).