Sungguh Allah itu Maha Baik, suka pada kebaikan dan sangat mencintai orang-orang yang berupaya baik dan mengadakan perbaikan atau perdamaian. Contohnya yaitu Allah sangat menyukai seorang suami yang berusaha banyak berbuat baik kepada keluarganya dan juga pada istri yang banyak meminta maaf dan memaafkan suami dalam rangka membuat perbaikan. Oleh karena itu, Allah membuat hukum tentang bagaimana pergaulan suami istri yang baik agar kita mendapatkan limpahan kebaikan baik di dunia dan akhirat kita faham dan mengamalkan Hukum tentang pergaulan istri ini, yang mana telah Allah jelaskan dalam al Quran surah an Nisa ayat 19 dan surah al Baqoroh ayat 222-224 sebagai berikut;
Yaa ayyuhaa-lladziina aamanuu laa yachillu lakum an taritsuu-nnisaa`a karhaa {wahai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kalian bahwa kalian mewarisi wanita-wanita dengan paksa}: Istri haram untuk diwariskan dan haram menganggap wanita sebagai barang. Kita yakini bahwa Islam menghormati wanita. Sebagaimana telah dijelaskan dalam ayat sebelumnya.
Haram mewariskan wanita, baik paksa maupun suka-suka. Sebagaimana Nabi SAW bersabda, “Janda tidak boleh dinikahkan sehingga dia diminta perintah-nya, dan gadis tidak dinikahkan sehingga diminta izinnya.” (HR. Bukhori). Jadi, Janda tidak boleh dipaksa baik untuk nikah maupun tidak nikah.
Walaa ta’duluuhunna litadz-habuu biba’dli maa `aataitumuuhunna illaa an ya`tiina bifaachisyatin mubayyinatin {dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk kalian mengambil kembali dengan sebagian apa yang kalian berikan kepada mereka kecuali bahwa mereka melakukan perbuatan keji yang nyata}: Haram upaya meminta kembali apa yang diberikan pada istri, yang sudah diberikan bukan harta warisan, tapi harta istri. Jadi yang diwariskan juga bukan harta istri. Dikiaskan di dengan ini, haram mengambil kembali harta yang sudah diberikan pada orang lain. Misal: tanahnya diwakafkan, maka diminta kembali haram hukumnya, bahkan dinazarkan, “kambing ini besok saya ambil”, walau hanya niatan saja. Misal: “Besok kalau saya sembuh saya akan mewakafkan uang 70 ribu ke orang miskin”. Itu harus dilakukan atau dipenuhi.
Dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda, “Perumpamaan bagi orang yang mengambil kembali hibahnya ibarat orang yang menelan kembali muntahnya” (HR. Bukhari dan Muslim). Namun Jika pemberinya adalah orang tua, diberikan kepada anaknya maka orang tua itu diperbolehkan mengambil kembali hibahnya. Selain itu tak boleh, kecuali atas kerelaan dari orang yang diberi. Termasuk pemberian suami kepada istri atau sebaliknya. Sebagaimana hadist Dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah halal jika seseorang memberikan pemberian kemudian dia menarik lagi pemberiannya, kecuali orang tua (yang menarik lagi) sesuatu yang telah dia berikan kepada anaknya” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasa-i, dan Ibnu Majah).
Wa ‘aasyiruuhunna bi-lma’ruuf. {dan bergaulah dengan mereka dengan cara yang baik}: suami wajib berusaha berbuat baik kepada istri contohnya yaitu dengan memberikan haknya, “Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf”. (QS Al Baqarah: 228). berlemah lembut, “Hendaklah engkau bersikap lembut”. (HR Muslim). Memberikan nasihat, “Berwasiatlah kalian kepada para istri dengan kebaikan karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok”. (HR Al Bukhari). bersabar dan memulyakan, “Merasakan kenikmatan dengan istri tidak akan sempurna kecuali dengan bersabar terhadapnya dan memuliakannya”. (Syarah Shahih Muslim). Memberikan ketenangan, “Dialah yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu itu, agar jiwa tersebut merasa tenang bersamanya”. (QS Al A’raf : 189). Berbuat adil kepada istri istri, dari Abu Hurairah ra. secara marfu’ diterangkan: “Barang siapa yang memiliki dua orang istri dan dia lebih condong kepada salah seorang di antara mereka maka dia akan datang pada Hari Kiamat dalam keadaan salah satu sisinya miring.” (HR Nasa’i dan Hakim). Memberi nafkah karena Allah, Rosulullloh Saw bersabda. “Dan hak mereka (istri-istri) atas kalian adalah menafkahi mereka dan menyandangi mereka dengan cara-cara yang baik” (HR. Bukhori). Mendidik istri dalam hal iman, ibadah dan akhlak, Allah berfirman “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (dan anakmu) dan istrimu dari api neraka, ….” (QS. At-Tahriim: 6) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpesan kepada Malik bin Huwairits ketika mau pulang ke kampung asalnya, “Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kewajiban istri kepada suaminya yaitu
1). Taat, Allah akan memberikan jaminan surga bagi istri yang taat dan berbakti kepada suaminya. Dari Ummu Salamah Radiyallahu’anha bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Wanita mana saja yang telah meninggal dunia dan lantas suaminya ridha padanya, maka ia akan masuk ke dalam surganya Allah SWT.” (HR. Thirmidzi dan Ibnu Majah).
2). menjaga diri dan harta suami, Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu anhu berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, dalam khutbahnya pada haji Wada’: لاَ تُنْفِقُ امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا ، قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ الله الله! وَلاَ الطَّعَامَ؟ قَالَ: ذَاكَ أَفْضَلُ أَمْوَالِنَا. ‘Janganlah seorang wanita menafkahkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya.’ Ditanyakan (kepadanya), ‘Wahai Rasulullah, tidak pula makanan?’ Beliau menjawab, ‘Itu adalah sebaik-baik harta kita.’ (HR. Tirmidzi)
3). Menyenangkan hati suami, sebagaimana, Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baik wanita ialah bila engkau pandang, dia menyenangkan; bila engkau perintah, dia menanti; dan bila engkau tidak ada, dia menjaga hartamu dan kehormatannya.” (HR. Nasa’i).
4). Tidak menyakiti hatinya, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah seorang istri menyakiti suaminya di dunia melainkan istrinya dari para bidadari berkata, “Jangan sakiti dia, semoga Allah memusuhimu sesungguhnya dia itu bagimu seakan-akan sebagai tamu yang sangat mudah meninggalkanmu dan bergabung dengan kami.” (Ditakhrij Ibnu Majah dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata,”Hadist hasan gharib”).
5) berterimakasih kepada suami, Rasulullah SAW pernah memperingatkan, “Allah tidak akan memperhatikan wanita yang tidak mau berterima kasih kepada suaminya, sementara dia masih membutuhkannya.” (HR. Hakim).
Menutupi aib suami dan semua rahasia-rahasianya, Rasulullah saw berkata, “Sesungguhnya seburuk-buruk derajat manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah laki-laki yang menyebarluaskan cacat atau rahasia istrinya dan istri yang membuka rahasia suaminya, lalu masing-masing membeberkan rahasianya.” (HR. Muslim dan Abu Dawud).
Wajib melayani kebutuhan suami sebagaimana dalam hadist, Rasulullah bersabda “Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk memenuhi kebutuhannya maka hendaklah istri mendatanginya walupun istri sedang berada di dapur” (HR Tirmidzi).
Wajib selalu izin kepada suami, bahkan dalam menjalankan ibadah sunnah, sebagaimana hadist Nabi SAW “Tidak halal bagi seorang istri untuk berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya ada, kecuali dengan seizinnya. Dan tidak halal memberi izin (kepada orang lain untuk masuk) ke rumahnya kecuali dengan seizin suaminya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Wajib memulyakan keluarga suami dan mendahulukan atau mengalah dengan ibunya, Dalam sebuah hadits shahih, diriwayatkan bahwa Aisyah RA bertanya kepada Rasulullah Shallahu alaihi wasalam, “Siapakah yang berhak terhadap seorang wanita?” Rasulullah menjawab, “Suaminya” (apabila sudah menikah). Aisyah Ra bertanya lagi, “Siapakah yang berhak terhadap seorang laki-laki?” Rasulullah menjawab, “Ibunya” (HR. Muslim). Seorang sahabat, Jabir Ra menceritakan: Suatu hari datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Shallahu alaihi wasalam, ia berkata, “Ya Rasulallah, saya memiliki harta dan anak, dan bagaimana jika bapak saya menginginkan (meminta) harta saya itu?, Rasulullah menjawab, “Kamu dan harta kamu adalah milik ayahmu”. (HR. Ibnu Majah dan At- Thabrani).
Haram bagi istri; menerima tamu yang tidak disukai suami, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Hak kalian (para suami) atas mereka (para istri) adalah mereka tidak memasukkan seorangpun yang tidak kalian sukai ke rumah kalian. Jika mereka melakukannya, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menimbulkan bekas”. (HR. Muslim). Haram menolak kemauan suami, Sabda Rasulullah Shallahu alaihi wasalam, “Apabila suami memanggil isterinya ke tempat tidur, ia tidak datang niscaya malaikat melaknat isteri itu sampai Subuh.” (HR. Bukhari dan Muslim). Keluar tanpa izin suami, Rasulullah Shallahu alaihi wasalam: “Siapa saja perempuan yang keluar rumahnya tanpa ijin suaminya dia akan dilaknat oleh Allah sampai dia kembali kepada suaminya atau suaminya redha terhadapnya” (HR. Al Khatib).
Beberapa sunnah Rosululloh SAW dalam pergaulan suami istri yaitu; Sunnah makan sepering berdua, Dari Aisyah RA, ia berkata: Saya dahulu biasa makan bubur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Bukhari) “Dalam redaksi Hadits yang lain diriwayatkan Imam Muslim, Rasulullah SAW dan Aisyah RA minum dengan gelas dan piring yang sama. Bahkan makan daging pada bekas jilatan Aisyah” (HR. Nasai).
Tidur dipangkuan istri, Aisyah RA berkata: “Pernah Rasulullah SAW berbaring di pangkuanku, saat aku sedang haid, lalu beliau membaca Al-Qur`an” (HR. Muslim).
Mandi bersama, Aisyah RA berkata: “Aku mandi bersama Rasulullah dari satu bejana. Kemudian Rasulullah mendahuluiku sampai aku berkata, ‘Tinggalkan untukku. Tinggalkan untukku.’ (HR. Muslim).
Menyuapi istri, Dari Saad bin Abi Waqosh RA berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Dan sesungguhnya jika engkau memberikan nafkah, maka hal itu adalah sedekah, hingga suapan nasi yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu.“ (Mutafaqun ‘Alaih).
Mengajak istri jika ke luar kota. Aisyah berkata: “Biasanya Nabi SAW apabila ingin melakukan suatu perjalanan, beliau melakukan undian di antara para istrinya. Barangsiapa yang keluar nama/nomor undiannya, maka dialah yang ikut pergi bersama beliau.” (HR Bukhari dan Muslim).
Mengantarkan Istri, Shofiyah, istri Nabi SAW, menceritakan bahwa dia datang mengunjungi Rasulullah ketika beliau sedang melakukan i’tikaf pada hari sepuluh yang terakhir dari bulan Ramadhan. Dia berbicara dekat beliau beberapa saat, kemudian berdiri untuk kembali. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga ikut berdiri untuk mengantarkannya.” Dalam riwayat lain diceritakan, Nabi SAW sedang berada di masjid. Di samping beliau ada para istri beliau. Kemudian mereka pergi (pulang). Lantas Nabi berkata kepada Shafiyyah “Jangan terburu-buru, agar aku dapat pulang bersamamu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Mengajak Istri melihat hiburan. Dari Aisyah RA, dia berkata: “Pada suatu hari raya orang-orang berkulit hitam mempertontonkan permainan perisai dan lembing. Aku tidak ingat apakah aku yang meminta atau Nabi SAW sendiri yang berkata padaku : ‘Apakah engkau ingin melihatnya?’ Aku menjawab: Ya.’ Lalu beliau menyuruhku berdiri di belakangnya. Pipiku menempel ke pipi beliau. Beliau berkata: ‘Teruskan permainan kalian, wahai Bani Arfidah (julukan orang-orang Habsyah)!’ Hingga ketika aku sudah merasa bosan beliau bertanya: ‘Apakah kamu sudah puas?’Aku jawab: ‘Ya.’ Beliau berkata: ‘Kalau begitu, pergilah!.” (HR Bukhari dan Muslim).
Melayani dan memanjakan istri ketika sakit, Diriwayatkan oleh Aisyah RA, “Rasulullah SAW adalah orang yang penyayang lagi lembut. Beliau orang yang paling lembut dan banyak menemani istrinya yang sedang mengadu atau sakit”. (Mutafaqun ‘Alaih).
Membantu pekerjaan rumah Tangga, Umul Mukminin Aisyah pernah ditanya : “Apa yang dilakukan Nabi SAW di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau ikut membantu melaksanakan pekerjaan keluarganya.” (HR Bukhari).
Menyisir rambut istri, “Beliau (Rasulullah mendekat kepadanya (Aisyah) dan ia ada di kamarnya, lalu ia menyisir beliau, padahal ia sedang haid”. (HR Muslim).
Sering mencium istri, Diriwayatkan dari Aisyah RA ia bercerita : “Rasulullah SAW beliau menciumku, kemudian beliau keluar ke masjid untuk salat dan tidak berwudu kembali.” Dari Hafshah, puteri Umar RA sesungguhnya Rasulullah SAW biasa mencium isterinya sekalipun sedang puasa. (HR. Ahmad).
Bergurau, bermain bersama membangun kemesraan, Dari Zaid bin Tsabit, ia berkata tentang Rasulullah SAW: “Beliau orang yang suka bercanda dengan istrinya.” (HR Bukhari), Aisyah dan Saudah pernah saling melumuri muka dengan makanan. Dan Nabi SAW tertawa melihat tingkah keduanya. (HR Nasa’i).
Memberi Istri hadiah, Ummu Kaltsum binti Abu Salamah, berkata, “Ternyata keadaan Raja Najasyi seperti yang disabdakan Rasulullah SAW, dan hadiah tersebut dikembalikan kepada beliau, lalu beliau memberikan kepada masing-masing istrinya satu botol minyak kasturi, sedang sisa minyak kasturi dan pakaian tersebut beliau berikan kepada Ummu Salamah.” (HR Ahmad),
Tidak mencela masakan istri, Rasulullah SAW juga tak pernah mencela masakan istri. Kalau beliau suka akan dimakan, kalau tidak suka, beliau biarkan tanpa mencacatnya (HR. Bukhari).
Memanggil istri dengan mesra, Nabi SAW memanggil Aisyah dengan “ya Humaira’ yang artinya kemerah-merahan. Panggilan itu adalah ungkapan kekaguman Nabi kepada kecantikan Aisyah yang pipinya merona (HR. Nasai ,Ibnu Majah, Baihaqi)
Fa in karihtumuuhunna fa’asaa antakrohuu syai`an wa yaj’ala Allaaha fiihi khoiron katsiiroo {maka jika kalian membenci mereka maka barangkali bahwa kalian membenci (pada) sesuatu dan Dia menjadikan (oleh) Allah dalamnya kebaikan yang sangat banyak}: ketika mulai membenci istri atau orang lain maka wajib berusaha ingat bahwa bisa jadi Allah membawakan kebaikan pada dirinya untuk kita. Oleh karena itu, haram membenci makhluknya Allah apalagi menghinakannya, jika ada sifat jeleknya maka kita benci dan kita hinakan sifat itu saja, bukan orangnya.
Dikiyaskan dengan ini yaitu wajib mengambil hikmah dari segala suatu yang Allah berikan atau hadirkan untuk kita. Allah juga berfirman “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (Qs. Al-Baqarah: 216).
Tafsir Qs. al Baqoroh ayat 222
Wa yas’aluunaka ‘ani-lmachiidl {dan mereka bertanya kepadamu tentang haid}: Seorang laki-laki atau suami lebih penting atau utama tahu ilmunya haid karena seorang laki-laki adalah pemimpin. Jadi tidak hanya istri yang wajib mengerti ilmu tentang haid. Ilmu haid akan dijelaskan lebih lanjut pada Qurany 6 D. Haram malu bertanya jika itu mengenai hukum Allah, Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka mempelajari agama.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kita sering bertanya atau datang kepada Nabi atau Ulama` dan sebagainya tentang urusan agama. Ahli dzikir atau orang yang banyak ingat Allah yang faham hukum-hukumnya Allah. “maka bertanyalah oleh kalian (pada) ahli dzikir jika kamu tidak mengetahui”. (QS. An Nahl: 43 dan QS. Al Anbiya:7). Allah menggunakan Lafadz Ahlu Dz-dzikr. Oleh karena itu, kita wajib berusaha berguru pada Ulama saja, yaitu ahli ilmu yang banyak dzikir, bukan sekedar faham agama tapi juga banyak ingat Allah dan akhirat, jadi ahli dzikr adalah orang yang dengan ilmunya ia menjadi banyak ingat Allah dan akhirat.
Kita tidak hanya belajar atau berusaha mengetahui atau memahami suatu pengetahuan tapi kita berusaha menggunakan ilmu itu untuk dzikir atau dalam rangka mengingat keagungan Allah, memahami Kekuasaan Allah, merawat atau memulyakan ciptaan Allah termasuk hukum dan ketetapanNya Allah. Sebab Ilmu yang sedikit tapi digunakan untuk menghamba dan meng agungkan Allah jauh lebih baik dari pada berilmu tetapi menjadikan lupa pada Allah. misalnya menjadikan sombong, mudah menyalahkan orang lain, mengaggap diri paling benar dan lain lain.
Dikiyaskan dengan bertanya pada Ulama, kita juga wajib berusaha sering sering sowan pada Ulama, atau minimal duduk dimajlisNya Ulama, Nabi bersabda, “Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan (silaturrahim)” (HR. Bukhari dan Muslim). Imam Nawawi berkata: mencium tangan seseorang karena zuhudnya, kebaikannya, ilmunya, atau karena kedudukannya dalam agama adalah perbuatan yang tidak dimakruhkan, bahkan hal yang demikian itu disunahkan. (Fathul Bari)
Qul huwa `adzan {katakanlah dia kotor}: Haid adalah kotoran. Wanita yang paling bagus adalah yang haidnya sedikit maka kita banyak mohon ampun pada Allah di saat haid, sebab haid itu menjadi alasan kelemahannya perempuan, yang mana nanti akan dijelaskan lebih lanjut pada bab haid dalma Qurany 6D.
Fa’tadziluu an-nisaa`a fi al-machiidl {maka jauhilah (pada) wanita-wanita dalam haid}: Menjauhi dalam artian tidak campur. Laki-laki hendaknya menyendiri dan haram mendekat wanita untuk dikumpuli, tetapi jika hanya untuk bermesraan selain mengumpuli maka boleh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lakukanlah segala sesuatu (dengan istri kalian) kecuali nikah.” (HR. Muslim).
Adapun hadits yang memperbolehkan mengumpuli asal ditutupi kain yaitu sebagaimana hadist dari Sayyidati A’isyah radhiyallahu ‘anha menceritakan, Apabila saya haid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku untuk memakai sarung kemudian beliau bercumbu denganku. (HR. Ahmad, Turmudzi). Maimunah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercumbu dengan istrinya di daerah di atas sarung, ketika mereka sedang haid. (HR. Muslim).
Boleh juga suam istri tidur dalam satu selimut ketika istri sedang haid sebagaimana, Diceritakan oleh Aisyah RA, ketika Rasul sedang berada dalam satu selimut dengan Aisyah, tiba-tiba Aisyah bangkit. Rasul kemudian bertanya “Mengapa engkau bangkit?” Aisyah menjawab “Karena aku sedang haidh wahai Rasulullah. Kemudian Rasulullah berkata “Kalau begitu pergilah, lalu berkainlah dan dekatlah kembali denganku.” Aisyah pun masuk lalu berselimut bersama beliau,” (HR Sa’id bin Manshur).
Wa laa taqrobuuhunna chatta yathhurna {dan janganlah kalian mencampuri (pada) mereka sehingga mereka suci}: harom mencampuri wanita atau berhubungan intim dengan wanita yang sedang haid, sampai benar-benar suci, maka boleh mengumpuli.
Wajib bagi wanita segera mandi suci ketika sudah selesai haid dan wajib mandi suci dari haid terlebih dahulu sebelum melakukan hubungan intim dengan suami, sebab dapat menimbulkan hukum baru, sebagaimana disebutkan dalam hadist, “Seorang laki-laki menjima’ istrinya yang sedang haid, apabila itu dilakukan saat darah haid istrinya berwarna merah, dikenai denda 1 dinar, sedangkan jika dilakukan saat darahnya sudah berwarna kekuningan, dendanya 1/5 dinar.” (HR Tirmidzi).
Faidzaa tathohharna fa’tuuhunna {maka apabila mereka telah suci maka datangilah mereka}: Apabila sudah mandi boleh mendatangi istri dari mana ia sukai dari yang Allah perintahkan, selain jalan belakang. Sebagaimana hadist dari Abu Hurrairah: “Siapa saja yang melakukan hubungan badan dengan wanita yang sedang datang bulan, di bagian dubur, datang ke peramal dan percaya yang dikatakan, maka sesungguhnya dia tidak percaya pada apa yang diturunkan pada Muhammad.” (HR Ibnu Majah).
Sunah mengumpuli istri pada waktu subur yaitu tanggal 13, 14, 15 (kalender perempuan). Dengan tetap sesuai aturan yang diajarkan oleh Nabi SAW yaitu membaca doa, “Allahumma janibnasyaithana wa janibnisyathanamarazaqna”. Yang artinya, “Dengan nama Allah, ya Allah; jauhkanlah kami dari gangguan syaitan dan jauhkanlah syaitan dari rezeki (bayi) yang akan Engkau anugerahkan pada kami”. (HR. Bukhari). Haram seperti mencampuri binatang dan sunnah ada pemanasan terlebih dahulu, Rasulullah SAW bersabda, “Jangan sekali-kali seseorang di antara kamu mencampuri istri seperti bercampurnya binatang. Tetapi, hendaklah ada pengantarnya.” Ada yang bertanya, “Apakah pengantarnya itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ciuman dan perkataan.” (HR Abu Manshur dan Ad Dailami dalam musnad Al Firdaus dari Hadis Anas).
Disunahkan menikahi wanita yang banyak anak. Sebagaimana hadist dari Ma’qil ibn Yasar berkata: “Seorang datang kepada Rosululloh SAW dan berkataa: Wahai Rosululloh, aku telah jatuh cinta kepada seorang wanita kaya dan terhormat, hanya saja dia tidak melahirkan anak. Bolehkah saya menikahinya?”, Rosululloh melarangna. Kemudian ia datang lagi kepada Rosulullloh SAW dan bertanya lagi tentang hal itu. Dan beliau tetap melarangnya dan bersabda: “kawinlah ddengan wanita yang dapat melahirkan anak yang banyak dan yang penuh cinta pada suami, karena pada hari kiamat aku akan membanggakan besarnya jumlah umatku di hadapan NAbi-Nabi yang lain” (HR. An Nasa’i).
Adapun waktu yang disunnahkan untuk berhubungan intim yakni subuh, siang hari waktu dzuhur, dan setelah isya. Sebagaimana firman Allah SWT QS. An-Nur: 58. “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di waktu dzuhur dan sesudah shalat Isya’. (Itulah) tiga waktu aurat bagi kamu. tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari tiga waktu itu”. Tiga waktu ini diperkuat dengan Tafsir Ibn Katsir, bahwa “Dulu para sahabat radhiyallahu ‘anhum, mereka terbiasa melakukan hubungan badan dengan istri mereka di tiga waktu tersebut. Kemudian mereka mandi dan berangkat shalat. Kemudian Allah perintahkan agar mereka mendidik para budak dan anak yang belum baligh, untuk tidak masuk ke kamar pribadi mereka di tiga waktu tersebut, tanpa izin. (Tafsir Ibn Katsir, 6/83). Serta kebiasaan nabi Muhammad SAW bahwa “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di awal malam, kemudian bangun tahajud. Jika sudah memasuki waktu sahur, beliau shalat witir. Kemudian kembali ke tempat tidur. Jika beliau ada keinginan, beliau mendatangi istrinya. Apabila beliau mendengar adzan, beliau langsung bangun. Jika dalam kondisi junub, beliau mandi besar. Jika tidak junub, beliau hanya berwudhu kemudian keluar menuju shalat jamaah. (HR. an-Nasai)
Min chaitsu amarokumu Allaahu {dari mana memerintahkan (pada) kalian (oleh) Allah}: 1. Dimanapun ia sukai yaitu yang diperintah Allah. 2. Pilih ladang yang baik, yaitu baik agamanya.
Inna Allaaha yuchibbu at-tawwabiina wa yuchibbu al-muthathohhiriina {sungguh Allah itu menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri}: wajib berusaha bertaubat dan bersuci karena Allah menyukai orang yang taubat dan bersuci. “Dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Sesungguhnya Allah SWT itu suci yang menyukai hal-hal yang suci, Dia Maha Bersih yang menyukai kebersihan, Dia Maha Mulia yang menyukai kemuliaan, Dia Maha Indah yang menyukai keindahan, karena itu bersihkanlah tempat-tempatmu.” (HR. Tirmizi).
Wajib mandi besar setelah melakukan hubungan istri atau junub, sebagaimana firman Allah, Dan jika kalian junub maka bersucilah. (QS. Al-Ma`idah: 6), dan hadist Nabi Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seseorang telah benar-benar melakukan hubungan intim dengan istrinya lantas bertemu dua kemaluan, ia diwajibkan untuk mandi.” (Muttafaqun ‘alaih) (HR. Bukhari dan Muslim) yang mana hal ini telah dijelaskan pada Qurany 6A.
Sunnah wudhu terlebih dahulu sebelum mandi junub sebagaimana dsebutkan dalam hadist Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha; dia menyatakan, “Bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dari janabah maka beliau mulai dengan membukukan kedua tangannya, kemudian berwudhu melakukan wudhunya untuk shalat, kemudian memasukkan jari-jarinya kedalam air kemudian menyela dasar-dasar rambutnya, sampai beliau menyangka air sampai kedasar rambutnya kemudian menyiram kepalanya dengan meletakkan sebanyak tiga kali kemudian beliau menyiram seluruh tubuhnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Wajib membersihkan najis terlebih dahulu dan sunnah untuk berkumur dan bersiwak sebagaimana hadist dari Maimunah binti Al-Harits radhiyallahu’anha; dia mengatakan, “Saya siapkan udara bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mandi junub. Kemudian beliau menuangkan (air tersebut) dengan tangan kanannya di atas tangan kirinya sebanyak dua kali – atau tiga kali, kemudian beliau mencuci kemaluannya, lalu menggosokkan di tanah atau di tembok sebanyak dua kali – atau tiga kali. Selanjutnya, beliau berkumur-kumur dan ber-istinsyaq (menghirup udara), kemudian beliau mencuci mukanya dan doa sampai siku. Kemudian beliau siram kepalanya lalu seluruh tubuhnya. Kemudian beliau mengambil posisi / tempat, bergeser, lalu mencoba kedua nya. Kemudian saya memberikan kepadanya kain (semacam handuk, pen.) Tetapi beliau tidak menginginkannya, lalu beliau menyeka air (di tubuhnya) dengan menggunakan kedua” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tafsir Qs. Al Baqoroh: 223
Nisaa`ukum chartsun lakum {istri-istri kalian (adalah) ladang bagi kalian}: Kalau kita punya anak berarti itu anaknya bapak. Ayat ini turun sebagaimana dari Ibnul Munkadir rahimahullah, ia berkata, “Aku mendengar Jâbir bin Abdillâh berkata, “Orang-orang Yahudi, jika suami menyetubuhi istrinya dari belakang, maka anak akan lahir dengan mata juling, maka turunlah ayat: “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki” (QS. Al Baqoroh: 223). Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ia berbaring atau tengkurap, selama masuk ke farji (kemaluan)” (HR. Bukhori & Muslim).
Ayat ini juga menjadi dasar bahwa anak yang lahir dari pernikahan yang sah adalah anaknya bapak. Sebagaimana Hadis yang bersumber dari Aisyah RA mengatakan, Sa’ad bin Abi Waqash dan Abd bin Zamaah pernah berebut terhadap seorang anak. Lantas Sa’ad berkata: “Wahai Rasulullah, anak ini adalah anak saudara saya Utbah bin Abi Waqqash. Dia sampaikan ke saya bahwasanya ia adalah anaknya. Lihatlah kemiripannya.” Abd bin Zama’ah juga ber kata: “Anak ini saudaraku wahai Rasulullah. Ia terlahir dari pemilik kasur (firasy) ayahku dari ibunya.” Rasulullah SAW pun melihat rupa anak tersebut dan beliau melihat keserupaan yang jelas dengan Utbah. Rasul bersabda: “Wahai Abd bin Zama’ah. Anak itu adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah (dihukum) batu dan berhijablah darinya wahai Sawdah binti Zam’ah. Aisyah berkata: Ia tak pernah melihat Sawdah sama sekali.” (HR al-Bukhari-Muslim). Dan juga berdasarkan dalil tentang anak angkat, “Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan mawla-mawlamu.” (QS al- Ahzab:4-5).
Fa`tuu chartsakum annaa syi`tum {maka datangilah ladang kalian bagaimana saja kalian kehendaki}: Mendatangi istri dimanapun yang disukai atau yang diperintah Allah adalah boleh asal tidak melalui jalan belakang. Diriwayatkan dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Dan pada kemaluan (persetubuhan) kalian terdapat sedekah. Mereka (para sahabat) bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah salah seorang dari kami yang menyalurkan syahwatnya lalu dia mendapatkan pahala?’ Beliau bersabda, ‘Bagaimana pendapat kalian seandainya hal tersebut disalurkan pada tempat yang haram, bukankah baginya dosa? Demikianlah halnya jika hal tersebut diletakkan pada tempat yang halal, maka dia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim).
Waqoddimuu li`anfusikum {dan utamakanlah (oleh) kalian untuk diri kalian sendiri}: sunnah pilih wanita yang penyayang, banyak teman tapi tidak punya musuh. Wajib berbuat baik dengan keyakinan bahwa itu untuk kebaikan diri sendiri di dunia dan akhhirat. Sunnah juga menikahi wanita yang perawan, dan wanita yang dapat memotivasi diri menjadi lebih baik dan utamanya memotivasi untuk lebih cinta Allah dan akhirat. Nabi bersabda “Nikahlah dengan gadis perawan karena mereka itu lebih manis bibirnya, lebih subur rahimnya, dan lebih ridha dengan yang sedikit,” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi dari Uwaimir bin Saidah RA). Diriwayatkan Abu Dawud dari Jabir bin abdulloh, “Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian meminang seorang wanita, jika dia mampu untuk melihat sesuatu yang memotivasinya untuk menikahinya hendaknya dia melakukannya.”Jabir berkata; kemudian aku meminang seorang gadis dan aku bersembunyi untuk melihatnya hingga aku melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya, lalu aku pun menikahinya.” (HR Abu Daud).
Wa-ttaqu Allaaha {dan bertaqwalah kepada Allah}: Dalam hubungan terhadap manusia terutama pada hubungan suami istri tetap wajib takwa pada Allah. Contohnya, berbuat baik pada istri, berjumbu dan berhubungan intim dengan istri dalam rangka beribadah kepada Alahdan menjalankan sunnahnya Rosululloh. Dari Siti ‘Aisyah RA Rasulullah SAW bersabda: “Nikah termasuk sunnahku. Barangsiapa tidak mengamalkan sunnahku, ia tidak termasuk golonganku. Menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku. Barangsiapa memiliki kemampuan untuk menikah, maka menikahlah.” (HR Ibnu Majah).
Dari ayat ini juga mengandung pengertian bahwa dalam pergaulan suami istri tidak boleh mengingat hal yang lain kecuali mengingat Allah saja apalagi mengingat wanita lain fiqh mengatakan dosanya sama dengan orang yang berzina. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Nabi shallallahu’ alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah menetapkan jatah zina untuk setiap manusia. Dia akan mendapatkannya dan tidak bisa dihindari: Zina mata dengan melihat, zina lisan dengan ucapan, zina hati dengan membayangkan dan gejolak syahwat, sedangkan kemaluan membenarkan semua itu atau mendustakannya. ” (HR. Bukhari dan Muslim)
Wa’lamuu annakum mulaaquuhu {dan ketahuilah oleh kalian sungguh kalian akan menemuinya}: wajib berusaha yakin dengan banyak ingat bahwa kita akan bertemu dengan Allah. Sebagaimana peringatan dari Nabi Rasulullah bersabda, “Bagaimana aku bisa mencintai dunia? Sementara aku di dunia ini tak lain, kecuali seperti seorang pengendara yang mencari tempat teduh di bawah pohon untuk beristirahat sejenak, lalu meninggalkannya.” (HR at-Tirmidzi).
Wabasy-syiri al-mu`miniina {dan gembirakanlah (pada) orang-orang mukmin}: wajib berusaha memberi kabar gembira bagi orang mukmin berupa surga dengan saling memberi wasiat dan motivasi untuk mencari bekal di akhirat kelak dan untuk tidak tergiur dengan dunia yang sementara. Sebagaimana hadist Nabi Saw, Dikisahkan, Jabir bin Abdullah pernah bersama Rasulullah. Tiba-tiba, datang laki-laki berwajah cerah, berambut rapi, berpakaian serbaputih. Kemudian, ia berkata kepada Rasulullah, “Salam, wahai Rasulullah. Apakah arti dunia ini?” Beliau menjawab, “Seperti impian orang yang tidur.” Ia bertanya lagi, “Apakah surga itu?” Beliau menjawab, “Sebagai ganti dunia bagi mereka yang mencarinya.” Ia kembali bertanya, “Siapa sebaik-baik manusia?” Beliau menjawab, “Orang yang menaati Allah.” Ia bertanya lagi, Bagaimana sikap yang baik di dunia ini? Beliau menjawab, “Berkemas-kemaslah seperti orang yang mengejar kafilah”. Ia bertanya lagi, “Berapa jarak antara dunia dan akhirat?” Beliau menjawab, “Sekejap mata.” Setelah itu, ia pun pergi dan tidak kelihatan lagi. Rasulullah bersabda kepada para sahabat, “Laki-laki itu adalah Jibril. Ia datang untuk menjauhkanmu dari dunia dan mencintai akhirat.” (HR al-Hakim). Oleh karena itu, kita berusaha hidup enak di syurga saja.
Tafsir Qs. Al Baqoroh ayat 224
Walaa taj’luu Allaaha ‘urdhotan-li aimaanikum an tabarruu watattaquu wa tushlichuu bayna an-naas {dan janganlah kalian jadikan (pada) Allah (sebagai) penghalang bagi sumpah-sumpah kalian untuk kalian berbuat kebaikan, kalian bertaqwa dan dan kalian membikin baik}: Haram bersumpah dengan nama Allah sehingga dengan sumpah itu tidak menjalankan kebaikan, taqwa dan kedamaian. Hal itu sebagaimana dipertegas oleh Allah dalam Surah An-Nuur ayat 22 yang artinya: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan diantara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabatnya, orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu?”.
Haram bersumpah atas nama Allah untuk perbuatan maksiat atau menjadikannya untuk tidak taat, takwa dan damai, tidak berbuat kebaikan dan sebagainya. dari Hamam bin Munabbih, ia menceritakan, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Kita adalah umat yang lahir di masa terakhir tetapi yang paling awal masuk ke dalam surga pada hari kiamat kelak.” Dan beliau bersabda: “Demi Allah, salah seorang di antara kalian yang mempertahankan sumpahnya untuk memojokkan keluarganya, lebih berdosa di sisi Allah daripada -melanggar sumpah itu- dengan membayar kafarat (denda) yang telah diwajibkan Allah atasnya.” (HR. Muslim)
Wa Allahu samii’un ‘aliimun: wajib selalu berusaha ingat bahwa Allah selalu mendengar dan mengetahui perbuatan kita. Oleh karena itu, kita utamakan untuk selalu berbuat baik karena Allah, sebagaima hadist dari Abu Musa Al-Asy’ari, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya aku insya Allah tidaklah bersumpah lalu aku melihat hal lain lebih baik daripada sumpah itu, melainkan aku akan menjalankan yang lebih baik tersebut, dan aku lepaskan sumpah itu dengan membayar kafarat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, Kita harus senantiasa merasa di lihat oleh Allah, karena Allah Maha Mengetahui dan kita gunakan pendengaran dan penglihatan kita sesuai dengan hakekatnya Allah menciptakan kita.
Tafsir Ahkam Qur’any 6C (Nikah)
Bimbingan dan Diskusi WA 085731391848