Nafkah adalah
Nafkah menurut bahasa (Etimologi) berasal dari bahas Arab yaitu
dari kata Infaq, yang berarti membelanjakan. Sehingga difahami bahwa hukumnya nafkah adalah sama dengan infak, shodaqoh dan zakat yaitu sama sama wajib. Sungguh Maha Sayang Allah yang memberikan hak nafkah kepada istri dan Maha BijaksanaNya Allah yang mewajibkan kepada laki-laki untuk memberikan nafkah kepada istri dan anaknya, sebagai bentuk tanggung jawabnya dan dengan kelebihan yang Allah berikan padanya. Dalil tentang Nafkah ini, Allah jelaskan dalam QS. ath Tholaq ayat 7 sebagai berikut:
Liyunfiq dzuu sa’atin min sa’atihii {agar memberi nafkah yang mempunyai keluasan menurut kemampuannya}: Memberi nafkah jika kaya maka memberi sesuai dengan kekayaanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai anak Adam! Sesungguhnya jika kamu mensedekahkan kelebihan hartamu, itu lebih baik bagimu daripada kamu simpan, karena hal itu akan lebih berbahaya bagimu. Dan kamu tidak akan dicela jika menyimpan sekedar untuk keperluan. Dahulukanlah memberi nafkah kepada orang yang menjadi tanggunganmu. Tangan yang di atas adalah lebih baik, daripada tangan yang di bawah” (HR. Bukhari)
Wanita hamil yang dithalak ba’in ataupun yang suaminya meninggal, wajib diberikan nafkah sampai ia melahirkan anaknya, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla. “Dan jika mereka (isteri-isteri yang dicerai itu) sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan”. (Ath Thalaq: 6)
Wa man qudiro ‘alaihi rizquhuu fal-yunfiq mimmaa aataahu Allaahu {dan siapa yang disempitkan atasnya rezekinya maka hendaknya memberi nafkah dari apa yang diberikan (pada) nya (oleh) Allah}: Walaupun istri kaya, suaminya miskin, tetap suami memberi nafkah sesuai dengan kemampuannya. Sebagaimana Allah juga berfirman, yang artinya “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik”. (QS. Al Baqarah: 233).
Nafkah ditentukan oleh kadar kemampuan suami, bukan karena kebutuhan istri. Dan jika suami mampu tetapi pelit maka berdasarkan hadist dari Hindun bin Utbah; istri Abu Sufyan mengadu kepada Rasulullah SAW. “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Hisyam ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku bapakku dari Aisyah bahwa Hindu binti Utbah berkata, “Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Ia tidak memberikan kecukupan nafkah padaku dan anakku, kecuali jika aku mengambil dari hartanya dengan tanpa sepengetahuannya.” Maka beliau bersabda: “Ambillah dari hartanya sekadar untuk memenuhi kebutuhanmu dan juga anakmu” (HR. Bukhari).
Rasulullah SAW bersabda bahwa, “Satu dinar yang engkau belanjakan untuk perang di jalan Allah SWT dan satu dinar yang engkau belanjakan untuk istrimu, maka yang paling besar pahalanya ialah apa yang engkau berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari-Muslim), “Bertaqwalah kalian dalam masalah wanita. Sesungguhnya mereka ibarat tawanan di sisi kalian. Kalian ambil mereka dengan amanah Allah dan kalian halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan rezki dan pakaian dari kalian” (HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi) pada riwayat lain Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika haji wada’, “Bertakwalah ditunjukan kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian Sesungguhnya Telah mengambil mereka dengan amanah Allah Dan Kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak suka. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti. Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf ” (HR. Muslim)
Adapun nafkah untuk istri durhaka maka tidak mendapatkan nafkah, Ibnu Abdil Barr mensyaratkan nusyuz yang menggugurkan hak isteri untuk mendapat nafkah, yaitu bila tidak disertai kehamilan sang isteri. Ia berkata, “Istri yang durhaka kepada suaminya setelah ia dicampuri, gugurlah kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepadanya, kecuali jika ia hamil.” Jika isteri dicerai sebelum terjadinya persetubuhan, maka sang isteri tidak berhak mendapat nafkah, karena tidak ada masa iddah baginya, bedasarkan firman Allah Azza wa Jalla. “Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi wanita-wanita beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta untuk menyempurnakannya”. (QS. Al Ahzab: 49).
Wajib atas suami memberikan nafkah kepada isteri yang dithalak raj’i. Tidak ada perselisihan diantara ulama, bahwa wanita yang dithalak raj’i berhak mendapat nafkah dari suaminya, baik mereka dalam keadaan hamil ataupun tidak; karena mereka masih berstatus sebagai isteri yang berhak mendapat nafkah, tempat tinggal serta harta warisan selama mereka dalam masa ‘iddah.” Wanita hamil yang dithalak ba’in ataupun yang suaminya meninggal, wajib diberikan nafkah sampai ia melahirkan anaknya, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla. “Dan jika mereka (isteri-isteri yang dicerai itu) sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan”. (QS. Ath Thalaq: 6)
Berdasarkan hadits dari Fatimah binti Qais, ketika ia diceraikan suaminya. Kemudian ketika ia meminta nafkah, suaminya menolak memberinya. Akhirnya ia meminta fatwa kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal ini. Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada lagi kewajiban atas suamimu untuk memberimu nafkah dan tempat tinggal” (HR. Bukhori & Muslim)
Laa yukallifu Allaahu nafsan illaa maa aataahaa {tiada memikulkan (oleh) Allah (pada) seseorang kecuali (dengan) apa yang Dia berikannya}: Suami tidak boleh takut tidak bisa memberi nafkah karena yang memberi rizki adalah Allah, bukan dari kerja keras suami atau istri. Sebab Allah Ta’ala telah menjamin rezeki setiap makhluk-Nya sebagaimana firman-Nya: “Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (tertib) rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Ankabut: 60). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah yang menaikkan harga dan menurunkan harga, Dialah yang menahan dan melapangkan rezeki. Aku harap dapat berjumpa dengan Allah dan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku karena kezaliman pada darah dan harta” (HR. Abu Daud, Tirmidzi & Ibnu Majah)
Suami wajib meyakini bahwa Allahlah yang memberikan riski bukan karena usahanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Tidaklah para hamba berada dalam waktu pagi, melainkan ada dua malaikat yang turun. Salah satu dari mereka berdoa,”Ya, Allah. Berikanlah kepada orang yang menafkahkan hartanya balasan yang lebih baik,” sedangkan malaikat yang lain berdoa” Ya, Allah. Berikanlah kebinasaan kepada orang yang menahan hartanya (tidak mau menafkahkannya).” (Muttafaqun ‘alaihi)Sa yaj’alu Allaahu ba’da ‘usrin yusroon {akan menjadikan (oleh) Allah sesudah kesulitan (pada) kemudahan}: Setelah kesulitan yang diberikan Allah pasti ada kemudahan baik di dunia maupun di akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya, tidaklah kamu menafkahkan suatu nafkah yang dimaksudkan mengharap wajah Allah kecuali kamu akan diberi pahala termasuk sesuatu yang kamu suapkan ke mulut istrimu” (HR. Bukhari)