Sungguh Allah Maha Agung dan Maha Tahu SegalaNya, meliputi apapun, sejak dahulu sampai kapanpun. Oleh karena Itu, kita wajib berusaha tawadhuk dengan segala ketentuan Allah. Robert Guilhem telah membuktikan dalam penelitiannya bahwa jejak rekam seorang laki-laki baru hilang setelah tiga bulan. Setelah Robert Guilhem mengetahui hakikat empiris ilmiah dan kemukjizatan Al-Quran tentang penyebab penentuan iddah (masa tunggu) bagi perempuan yang dicerai suaminya dengan masa 3 bulan. ia mendeklarasikan dirinya masuk Islam. Berikut penjelasan ayatnya

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (ditinggalkanlah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian kunjungan telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) izin mereka terhadap diri mereka patut patut. 
Allah melihat apa yang kamu perbuat.

Wallaadziina yutawaffauna minkum wayadzaruuna azwaajan yatarobbashna bi anfusihinna ‘arba’ata ash-hurin wa ‘asyron {dan orang-orang yang diwafatkan di antara kalian dan meninggalkan istri-istri hendaklah mereka meangguhkan dengan diri mereka empat bulan dan sepuluh (hari)}: Wanita yang ditinggal mati suaminya iddahnya adalah 4 bulan sepuluh hari. Namun apabila dia hamil, maka massa iddahnya adalah sampai anaknya melahirkan, sebagaimana hadist Nabi SAW dari Subai’ah al-Aslamiyah Radhiyallahu anhuma melahirkan dan bernifas setelah kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas meminta idzin kepada beliau untuk menikah (lagi). Kemudian beliau mengizinkannya, lalu ia segera menikah (lagi). (al-Bukhâri dan Muslim) dalam riwayat lain Dari Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya seorang wanita dari Aslam bernama Subai’ah ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil. Lalu Abu Sanâbil bin Ba’kak melamarnya, namun ia menolak menikah dengannya. Ada yang berkata, “Demi Allâh, dia tidak boleh menikah dengannya hingga menjalani masa iddah yang paling panjang dari dua masa iddah. Setelah sepuluh malam berlalu, ia mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menikahlah!” (HR. Bukhâri)

Wajib memulyakan dan mengagungkan Allah hukum nya Allah dengan mempelajari dan mengamalkannya, berpaling atau mengabaikan ketentuan hukum Allah sama dengan menjelekkan hukum Allah dan haram hukumnya. Oleh karena itu, kita mohon bimbingan dan rahmat Allah untuk selalu dapat mengagungkan hukum-hukumnya, sebab kita tidak akan mampu bijaksana dalam memutuskan perkara kecuali jika kita taqwadhuk pada Allah dan RosulNya. Sebagaimana firman Allah, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS An Nisa ayat 65)

Fa izdaa balaghna ajalahunna falaa junaaha ‘alaikum fiimaa fa’alna fii anfusihinna bi-lma’ruuf {maka apabila telah sampai (pada) akhir (massa iddahnya) aka tiada dosa atas kalian tentang apa yang mereka perbuat dalma diri mereka dengan cara yang makruf}: Janda yang ditinggal mati suami, maka diberi kebebasan untuk menikah. Wanita janda tidak boleh dipaksa untuk menikah atau dinikahkan karena janda menikah tanpa wali. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab awal.

Wa Allaahu bimaa ta’maluuna khobiiir {dan Allah (itu) dengan apa yang kalian kerjakan (Dia) sangat teliti}: wajib menyadari bahwa Allah selalu melihat baik yang dikerjakan hati kita, pikiran kita maupun fisik kita. 2. Kita melaksanakan hukum Allah karena penghambaan (dilihat) pada Allah saja bukan pada orang lain. Sebagaimana Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah mengetahui yang tersembunyi di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. Al Fathir: 38). Oleh karena kita, waib berusaha menjaga atau memperbaiki niat dan pikiran kita dalam beramal, sebab amal sholeh jika salah niat maka akan menajdi amal salah atau terhapus.

 Tafsir QS. AL Baqoroh: 235

Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu perumahan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. 
Allah tahu bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan rahasia, ucapan ucapan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah melihat apa yang ada dalam hatimu; 
maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

Wa laa junaacha ‘alaikum fiimaa ’arrodltum bihii min khitbati -nnisaa`i aw aknantum fii anfusikum {dan tiada dosa atas kalian tentang apa yang kalian sindirkan dengannya dari meminang wanita-wanita atau klian sembunyikan dari diri kalian}: Melamar dengan sindiran saja boleh, tetapi sebaiknya menunggu sampai iddahnya habis. Hal ini sebagaima juga dilakukan oleh Nabi SAW, Dari Sukainah binti Handhalah, ia berkata : Muhammad bin ‘Ali meminta idzin kepadaku, sedang masa ‘iddahku dari kematian suamiku belum usai, lalu Muhammad berkata, “Kamu tentu telah tahu kekerabatanku dari Rasulullah SAW dan kekerabatanku dari ‘Ali (bin Abu Thalib) serta kedudukanku di kalangan bangsa ‘Arab”. Aku berkata, “Semoga Allah mengampunimu, hai Abu Ja’far, sesungguhnya kamu adalah orang yang menjadi ikutan, sedang kamu meminangku dalam masa ‘iddahku”. Maka Muhammad berkata, “Aku hanya memberitahu kepadamu tentang hubungan kekerabatanku dengan Rasulullah SAW dan ‘Ali, sedang Rasulullah SAW sendiri pernah masuk (ke rumah) Ummu Salamah sedangkan dia adalah janda Abu Salamah, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya kamu sudah tahu bahwa aku adalah Rasulullah dan pilihan-Nya diantara makhluq-Nya serta kedudukanku di kalangan kaumku”. Itulah pinangan Nabi SAW dengan sindiran”. (HR. Daruquthni)

Demikian pula ketetapan bagi wanita yang ditalak ba’in (terakhir) bahwa ia dapat dilamar dengan sindiran, sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Fatimah binti Qais ketika ia dicerai oleh suaminya, Abu Umar bin Hafsh dengan talak tiga. Beliau menyuruhnya untuk menjalankan iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum seraya bertutur kepadanya, “Jika engkau telah halal, beritahu aku.” Setelah ia halal, Usamah bin Zaid, budak beliau, melamarnya, dan beliau pun menikahkan Fatimah dengan Usamah. Sedangkan wanita yang ditalak raj’i, maka tidak diperselisihkan lagi bahwa ia tidak boleh dilamar, baik secara terus terang maupun sindiran.

‘Alima Allaahu annakum satadzkuruunahunna {mengetahui (oleh) Allah bahwa kalian akan menyebut-nyebut mereka}: wajib selalu berusaha banyak ingat dan takut pada Allah yang mengetahui segala isi hati kita, sambil kita  banyak mohon ampun pada Allah. Meminang dengan sindiran lebih baik daripada sekedar menyebut-nyebutnya. Wajib berusahau menghindari menyebut-nyebut wanita atau banyak membicarakannya. Dikiyaskan dengan ini yaitu haram banyak menyebut-nyebut isinya dunia, termasuk memikirkannya, sebaliknya kita wajib berusaha banyak megingat dan menyebut-nyebut tentang Allah dan akhirat.

Wa laakin laa tuwaa’iduhunna sirron illaa an taquuluu qowlan ma’ruufaa {akan tetapi janganlah kalian mengadakan janji (pada) mereka (secara) rahasia kecuali kalian mengucapkan perkataan yang baik}: haram bagi laki-laki mengadakan perjanjian kepada wanita, kecuali dengan perkataan yang baik atau sindiran. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Janganlah engkau mengatakan kepada wanita itu, ‘Aku benar-benar mencintaimu. Berjanjilah kepadaku bahwa engkau tidak akan menikah dengan laki-laki lain,’ serta ungkapan lainnya.”

Walaa ta’zimuu ‘uqdata nnikaahi chatta yablugho -lkitaabu ajalah {dan janganlah kalian berketetan hati, berakad nikah sehingga sampai ketentuan waktunya}: Larangan wanita dalam masa ‘iddah yaitu: dilamar orang, ber-‘azam (keinginan) untuk menikah. Dikiyaskan dengan ini yaitu dilarang berhias diri, Diriwayatkan bahwa seorang perempuan datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya, Bolehkah putrinya yang suaminya baru saja meninggal dunia berdandan dengan bercelak mata?Lalu, Nabi SAW menjawab, Tidak, tidak, tidak (beliau mengucapkannya dua atau tiga kali). Itu hanya empat bulan sepuluh hari. Bukankah kalian dahulu pada masa jahiliyah melemparkan kotoran binatang setelah berlalu setahun? (HR Bukhari dan Muslim).

Ummu Athiyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Kami dilarang ihdaad (berkabung) atas kematian seseorang di atas tiga hari kecuali atas kematian suami, yaitu selama empat bulan sepuluh hari.Selama masa itu kami tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai wewangian, tidak boleh memakai pakaian yang berwarna kecuali pakaian ashab.Dan kami diberi keringanan bila hendak mandi seusai haid untuk menggunakan sebatang kayu wangi. Dan kami juga dilarang mengantar jenazah.” (HR. Bukhari dan Muslim) “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang”. (QS. At Thalaq:1) Namun wanita yang sedang dalam masa iddah tetap diperbolehkan keluar untuk keperluan yang penting. Sebagaimana dalam sebuah riwayat, Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu, dia berkata,”Bibiku ditalak yang ketiga oleh suaminya. Namun beliau tetap keluar rumah untuk mendapatkan kurma (nafkah), hingga beliau bertemu dengan seseorang yang kemudian melarangnya.Maka bibiku mendatangi Rasulullah SAW sambil bertanya tentang hal itu. Dan Rasululah SAW berkata, “Silahkan keluar rumah dan dapatkan nafkahmu, barangkali saja kamu bisa bersedekah dan mengerjakan kebaikan”. (HR. Muslim).

Wa’lamuu anna Allaaha ya’lamu maa fii anfusikum fachdzaruuh{dan ketahuilah (oleh) kalian sungguh Allah itu Dia mengetahui tentang diri kalian maka takutlah (kalian) (pada)nya}: wajib menentukan segala sesuatu sesuai dengan hukum Islam karena takut pada Allah yang selalu mengetahui isi hati kita. Kita laksanakan hukum dalam rangka membuktikan karena kita iman pada Allah. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallah bersabda : “Tidaklah (sempurna) iman salah seorang di antara kalian sehingga hawa nafsunya tunduk terhadap apa yang aku bawa” (al-Qur’an dan hadits)” (HR. Al Hakim)

Wa’lamuu anna Allaaha ghofuurun chaliim {dan ketahuilah kalian sungguh Allah (itu) sangat pengampun sangta penyantun}: haram putus asa jika terlanjur berbuat dosa atau melanggar hukum Allah, “Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata bahwa di antara dosa besar yang terbesar adalah berbuat syirik pada Allah, merasa aman dari murka Allah dan merasa putus asa dan putus harapan dari ampunan Allah.” (HR. Abdurrozaq). Dan wajib yakin bahwa Allah Maha Pengampun. Allah berfiman “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An Nisa’: 145-146).

Wajib beryukur dengan sifat Penyantunnya Allah yang Dia tidak segera mengazab atas dosa yang kita lakukan di dunia. Dia berfirman, “Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datangazab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS. Az Zumar: 53-54). “Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya ?. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Maidah: 74). Oleh karena itu, wajib selalu mohon ampun pada Allah sambil ingat sifat Maha Pengampun, Penyantun dan PenyayangNya.

Tafsir Ahkam Qurany 6C (Nikah)
Bimbingan IPDI Wa.me/6285731391848

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *