KHUTBAH IEDUL ADHA – TELADAN NABI IBRAHIM DAN ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIN
Oleh : Akmal Sulaiman

Pada hari ini kita berkumpul di tanah lapang ini untuk mengumandangkan takbir, tahlil, dan tahmid dalam rangka mengagungkan asma Allah SWT di hari raya Kurban ini. Hari raya yang mengabadikan keteladanan Ibrahim dan Ismail dalam menyerahkan diri kepada Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “tidaklah masuk surga kecuali jiwa yang berserah diri, dan sesungguhnya hari-hari ini adalah hari-hari makan dan minum (HR. Ibn Majah).

Shalawat dan salam kita sampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW, sebagai suri tauladan sepanjang masa dalam segala aspek kehidupan seorang muslim baik individu dan keluarga maupun sosial dan negara.

Hari raya Idul Adha memiliki akar historis yang agung yakni tentang sebuah ujian keimanan berupa totalitas pengorbanan dan ketaatan kepada perintah Allah SWT. Adalah Nabiyullah

Ibrahim  as   yang  harus  mempertaruhkan   naluri   kebapakan   dan   kemanusiaan   untuk

menyembelih Ismail, putra kesayangannya demi mentaati perintah Allah SAW.

Berawal dari doa Ibrahim -di usianya yang sudah tua- untuk diberikan keturunan sebagai penerus dari risalah kenabian. Penantian panjang Ibrahim berakhir dengan kehadiran anak semata wayang, yang bersama Ismail. Sungguh Ibrahim merasakan kebahagiaan yang luar biasa.

Namun, justru kebahagiaan Ibrahim menjadi awal datangnya rentetan ujian keimanan. Allah SWT memberikan perintah untuk menempatkan Hajar dan putranya Ismail di tempat yang jauh di sebelah utara kurang lebih 1600 KM dari Palestina, yaitu daerah Bakkah atau Makkah. Atas perintah ini Ibrahim mengatakan sebagaimana diabadikan dalam Q.S. Ibrahim: 37.

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan keturunanku (Ismail) di lembah yang tidak ada tanam-tanaman di dekat rumah-MU yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.

Perpisahan Ibrahim dan anaknya Ismail sungguh menyedihkan keduanya, tetapi kekuatan iman memberikan ketegaran baik pada diri Ibrahim maupun Ismail. Akibatnya, perpisahan sementara ini melahirkan berbagai kebaikan yang tidak habis sampai akhir zaman, dan risalah haji adalah munumen hidup atas peristiwa Ibrahim, hajar dan Ismail, dari Tawafnya, Sa’inya, Wukufnya, dan melempar Jumrahnya.

Belumlah cukup ujian Ibrahim berpisah dengan Ismail, ketika putranya menginjak usia tujuh tahun datanglah perintah yang menurut hukum logika tidak mungkin dilakukan. Sebuah

perintah untuk mengorbankan putranya Ismail sebagaimana firman Allah SWT :

“Ibrahim berkata : “Hai anakkku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu “maka fikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab: “Wahai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS As-shaffat: 102). Drama kosmis pun berlangsung seorang Ibrahim meletakkan mata pedang yang sangat tajam di leher Ismail dengan hati penuh keimanan. Godaan dan rayuan syetan tidaklah mampu menggoyahkan iman Ibrahim. Sampai akhirnya Allah SWT berfirman :

“Sesungguhnya engkau telah melaksanakan mimpi, demikianlah kami membalas orang yang berbuat baik. Selamat wahai Ibrahim, demikianlah kami membalas orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya Ibrahim termasuk hamba kami yang beriman”.

Betapa agungnya kisah kepasrahan Ibrahim sehingga jejak-jejak kehidupan Nabi Ibrahim dan Ismail diabadikan di dalam risalah haji; sebuah risalah yang menyatukan semua umat Islam tanpa berpecah-pecah karena perbedaan madzhab, golongan maupun partai politik.

Risalah haji sebagai monumen penting risalah Ibrahim mengajarkan mentalitas yang bertauhid, adilihung, penuh kedamaian, dan berkasih sayang dengan sesama manusia dan alam lingkungan.

Risalah haji mengajarkan tiga esensi penting sebagai pilar utama peradaban dan masyarakat muslim. Esensi pertama adalah penerapan syariah Islam secara kaffah (QS Al Baqarah : 208). Esensi kedua adalah ukhuwah dan rahmat (QS al Anbiya : 107). Esensi ketiga adalah dakwah Islam rahmatan lil`alamin (QS Ali Imran :104).

Marilah kita kembali menyadari keteladanan Nabi Ibrahim dan Ismail berupa kepasrahan hanya kepada Allah SWT. Rasulullah sudah mengingatkan di dalam hadis Riwayat Ibnu Majah tentang datangnya “Zaman Khudda’at”. Sebuah zaman dimana yang jujur didustakan, dan yang dusta dikatakan jujur. Pengkhianat diberi jabatan, dan sebaliknya orang amanah dikatakan pengkhianat.

Sebab, jika zaman khudda’at sudah datang berarti kita sudah masuk dalam zaman jahiliyah baru. Allah SWT memberikan peringatan di dalam Q.S. An-Nisa’ : 133 :

“Jika Allah berkehendak, maka Allah akan memusnahkan kalian dari muka bumi karena keingkaran dan kesombongan kalian, dan lalu Allah mendatangkan generasi baru sebagai pengganti”.

Ayat ini mengingatkan kita semua kepada ujian yang sedang kita hadapi, yaitu ujian wabab Covid-19 yang sudah merenggut 3.300 lebih nyawa saudara kita dan 68 ribu lebih dinyatakan positif. Ujian ini adalah peringatan agar setiap kita mulai kembali kepada tuntunan Al-Qur’an dan Assunnah. Tuntunan tentang bersuci, tuntutan tentang bergaul, tuntunan makan dan minum. Rasulullah SAW sudah menjandikan bahwa jika kita berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah maka dapat dipastikan bahwa hidup kita akan lurus, selamat dan penuh keberkahan.

Marilah kita berdoa kepada Allah SWT semoga kita semua diberikan kekuatan iman dan Islam untuk meneladani keimanan Ibrahim dan Ismail serta dihindarkan dari segala musibah. Semoga Allah menempatkan orang-orang terkasih yang sudah dipanggil terlebih dahulu di tempat yang mulia di sisi Allah SWT.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *